RESUME
ULUMUL HADITS
Judul : Ulumul Hadits
Tahun terbit : 2008
Penulis : Drs. M. Solahudin,
M.Ag & Agus Suyadi, Lc.M.Ag.
Penerbit : CV Pustaka Setia
Alamat Penerbit : Jl. BKR (Lingkar Selatan) No. 162-164
Bandung
Jumlah Halaman : 252 hlm
Peresum : Fitri Masturoh
BAB
I
PENGERTIAN
HADITS DAN BENTUK-BENTUK HADITS
A.
PENGERTIAN HADITS
1.
Pengertian Hadits secara etimologis
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu
al-hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis
, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari
al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.
2.
Pengertian Hadits Secara Terminologi
Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun
ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan
pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan
masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang
di dalaminya. Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut : “Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”. Adapun menurut istilah para fuquha, hadis
adalah: “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut
dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”
B.
PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
1.
Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji
atau tercela.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
2.
Pengertian Khabar
Secara bahasa berarti
berita atau warta yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan
menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW
atau dari yang selain Nabi SAW.
3. Pengertian Atsar
Dari segi bahasa, atsar
berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama, atsar mempunyai
pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama
lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.
C.
BENTUK-BENTUK HADITS
Bentuk-bentuk
hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan),
hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1.
Hadits Qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan,
atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek
aqidah, syari’at maupun akhlak.
2.Hadits Fi’li
Hadits
fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits
tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan
perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya.
3. Hadits Taqriri
Hadits
taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh
para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan atau mempermasalahkannya.
4. Hadits Hammi
Hadits Hammi : hadits yang berupa
keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa
tanggal 9 ‘Asyura.
5.HaditsAhwali
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.
D.
Hadits
Qudsi
Hadits qudsi secara bahasaa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi, hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.
Secara terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
E.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN ANTARA HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI
Persamaannya
yaitu : antara hadits qudsi & hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah
SWT. Kalau perbedaannya yaitu : hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan
diriwayatkan dari beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT
& Rosul Saw hanya menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
F.
PERBEDAAN
AL-QURAN DENGAN HADITS QUDSI
1.Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah SWT yang menantang & mukjizat yang abadi hingga hari akhir, sedangkan hadits qudsi tidak digunakan untuk menantang & tidak pula untuk mukjizat.
2.Al-Quran Al-Karim hanya dinisbatkan untuk Allah SWT, sedangkan hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah SWT & kadang juga disandarkan kepada Rasulullah Saw.
3.Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafadz maupun maknanya & merupakan wahyu Allah, sedangkan hadits qudsi itu maknanya saja dari Allah & lafadznya dari Rasulullah Saw.
BAB
II
A. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS
Perkembangan
hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi.
M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.
Periode
ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a.
Abdullah Ibn
Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b.
Ali Ibn Abi
Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c.
Anas Ibn Malik
2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)
Periode
ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan
hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat
kecil dan tabiin.
Periode
ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan
meluasnya periwayatan hadis).
Adapun
tokoh-tokohnya :
•
Abu hurairah,
menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut
al-kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
•
Abdullah ibn
umar meriwayatkan 2.630 hadits.
•
Aisyah, istri
Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.
•
Abdullah ibn abbas
meriwayatkan 1.660 hadits.
•
Jabir ibn
‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
•
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.
4. Periode
keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah
Pada
periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa
ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama,
golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua,
golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga,
golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Periode
ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh atau asas inisiatif pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum
abad II H hadits sudah banyak di tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil,
sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada
awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun
101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar
Ibn Aziz berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits dalam
satu buku dari para perowinya langsung.
Sekalipun
demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :
1.
Pengumpul
pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.
Pengumpul
pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.
Pengumpul
pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)
4.
Pengumpul
pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)
5.
Pengumpul pertama
di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6.
Pengumpul
pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)
7.
Pengumpul
pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)
8.
Pengumpul
pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.
Pengumpul
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)
10.
Pengumpul
pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).
5. Periode
Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad
ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab
Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut
dengan gembira, kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya
semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.Para ulama
pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan
shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya
dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal
berikut.
a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits.
Tokoh-tokoh
dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir
Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari,
Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah
Ad-Dainuri.
6. Periode
Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan
ke-2).
Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.
7. Periode
Ketujuh (656 H-sekarang)
Periode
ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim
(w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa
At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an,
dan pembahasan.
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab
hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab
Jami’ yang umum.
Sebagaimana
periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang menyusun
kitab ‘Athraf.
Tokoh-tokoh
hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu
Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852
H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794
H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H),
Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w.
806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).
B.
MADRASAH-MADRASAH HADIS
Madrasah
hadis adalah tempat atau pusat penyebaran hadis Nabi SAW. Berkembangnya
madrasah hadis ini diawali ketika Rasul mengutus para sahabat untuk berdakwah
keberbagai pelosok negri, seperti Irak, Yaman, Mesir, dan sebagainya. Ditempat
inilah mereka mengajar agama termasuk mengajar hadis-hadis yang telah mereka
dapatkan dari Rasul SAW.
Madrasah hadis
tersebut melahirkan tokoh-tokoh terkenal, baik dari golongan sahabat, tabiin,
maupun atba’ tabiin.
1.
Madrasah
Madinah
2.
Madrasah Mekah
3.
Madrasah Yaman
4.
Madrasah
Bashrah
5.
Madrasah Kufah
6.
Madrasah Syam
7.
Madrasah Mesir
BAB
III
SEJARAH
PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS
A.
Penulisan Hadits
Sebelum agama Islam
datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka
lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bisa
menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka.
Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin
Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arabdalam surat yang
ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di
Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum
kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca.
Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota
Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.
Banyak akhbar
yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekkah
daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada
para tawanan dalam Perang Badar dari Mekkah yang mampu menulis untuk
mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri
mereka.
Hadits atau sunnah
dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan
Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi
karena tidak diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits
yang peernah mereka dengar dari Rosulullah SAW.
Diantara sahabat
Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW adalah
Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan
Abdullah.
Dan mereka berkata
kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada
Rasulullah SAW. Mengenai hal trsebut, Rasulullah kemudian bersabda :
اُكْتُبْ عَنِّيْ
فَوَالَّذِيْ بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِيْ إِلَّاَ حَقٌّ
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan
Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan.
Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih
banyak (lebih mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin
Amru bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak
menulisnya.” Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits
di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits yang memberi izin yang datang kemudian.
B.
Penghapalan Hadits
Para sahabat dalam
menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni
menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam buku.
Karena itu kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan
hati-hati yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam
sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan dan
mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Nabi karena tidak
semua dari mereka dapat mengikuti atau menghadiri majelis nabi setiap waktu.
Kemudian, para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya
dan berupaya mengingat yang pernah Nabi lakukan lali menyampaikannya kepada
orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang
sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui Nabi SAW. Diantara
sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits adalah Abu
Hurairah. Menurut ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berjumlah 5.374 buah hadits. Adapun sahabt yang paling banyak hapalannya
sesudah Abu Hurairah adalah:
1. ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits
4. ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits
6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits
C.
Pembukuan Hadits
Pada abad pertama
Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian besar masa
Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu
berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada
waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hapalannya.
Ide penghimpunan hadits
nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah Umar bin Khaththab
(w. 23 H/644 M). namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena
khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintaha
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni
tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar
bin Abdul Aziz terkenal sebagai seorang Khalifah dari Bani Umayyah yang
terkenal adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang
kelima.
Beliau sangat waspada
dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin
sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya akan dapat
memusnahkan hadist-hadist itu dengan sendirinya.
D. METODE PEMBUKUAN HADITS
1. Metode Masanid.
Masanidyaitu
jamak dari sanad, maksudnya, buku-buku yang berisitentang kumpulan
hadits setiap shahabat secara tersendiri, baikhadits shahih, hasan,
ataupun dha'if. Kadangdiurutkan berdasarkan huruf hijaiyah atau alfabet
sebagaimana jugadilakukan oleh para ulama, kadang juga berdasarkan kabilah atau
suku,atau berdasarkan orang yang paling dulu masuk Islam.
Buku-bukuyang terkenal adalah:
- MusnadAbu Dawud Sulaiman bin Dawud at
Thayalisi (wafat 204H) [1]
- MusnadAbu Bakar Abdullah bin Az-Zubair
Al-Humaidy (wafat 219H)
- MusnadImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H)
- MusnadAbu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar
(wafat 292H)
- MusnadAbu Ya'la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna
Al-Mushili (wafat 307H)
2. MetodeAl-Ma'ajim
Metodeini adalah jamak dari mu'jam.
Adapun menurut istilah par ahlihadits adalah: Buku yang berisi kumpulan
hadits-hadits yang berurutanberdasarkan nama-nama shahabat atau guru-guru
penyusun, atau negeri,sesuai dengan huruf hijaiyah.
Buku-bukuyang
terkenal adalah:
-Al-Mu'jam Al-Kabir, karya Abul Qasim
Sulaiman bin AhmadAt-Thabrani (wafat 360H), berisi musand-musnad para shahbat
yangdisusun berdasarkan huruf mu'jam (kamus), kecuali musnad Abu Hurairahkarena
dsendirikan dalam satu buku. Ada yang mengatakan: Berisi60.000 hadits. Aibnu
Dihyah berkat bahwa dia adalah mu'jam terbesardi dunia. Jika mereka menyebut
“Al-Mu'jam”, maka kitab inilahyang dimaksud. Tapi jika kitab lain yang dimaksud
maka ad penjelasandengan kata lain.
-Al-Mu'jam Al-Awsath, karya Abul Qasim
Sulaiman At-Thabraniyang disusun, berdasarkan nama-nama gurunya yang jumlahnya
sekitar2.000 orang. Ada yang mengatakan di dalamnya terdapat 30.00hadits.
-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya
At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap satu hadits
diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.
-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya
At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap satu hits
diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.
3.
MetodePengumpulan
hadits berdasarkan pembahsan Agama seperti kitab-kitabAl-Jawami'
Al-jawami'adalah jamak dari jaami'. Sedang jawami'
dalam karyahadits adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh
pengarangnyaterhadap semua permasalahan agama. Maka dalam kitab semodel ini,
Andaakan menemukan bab tentang iman (akidah), thaharah, ibadah,
muamalah,pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa,fitnah
dan lain sebagainya. Kitab-kitabyang terkenal:
-Al-Jami' Ash-Shahih, karya Imam Abu
Abdillah Muhammad binIsma'il Al-Bukhari (wafat 256H), orang yang pertama
menyusun danmembukukan hadits shahih, akan tetapi belum mencakup semuanya.
Kitabini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Ba'duAl-Wahyu,
dan Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan denganKitabul Ilmi dan lainnya
hingga berakhir dengan Kitabut Tauhid.Julah semuanya ada 97 kitab. Pada
setiap kitab terbagi menjadibeberapa bab, dan pda setiap bab terdapat sejumlah
hadits.
KitabShahih Bukhari ini mendapat perhatian yang
cukup besar dari paraulama, diantaranya dengan membuat syarahnya, dansyarha
yang palingbaik adalah kitab Fathul Bari bi Syahri Shahihi Al-Bukhari,karya
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852H) dan UmadtulQari, karya
Badrudin Al-Aini (wafat 855H), dan Isrsyadus SariIla Shahihi A-Bukhari,
karya Al-Qasthalani (wafat 922H)
-Al-Jami' Ash Shahih, karya Imam Abul Husain
Muslim bin HajjajAl-Qusyairi An-Naisaburi (wafat 261H), berisi kumpulan riwayat
haditsyang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh ImaMuslim, dimulai
dengan Kitab Iman, kmudian Kitab Thaharah, KitabHaid, Kitab Shlalat dan dakhiri
dengan Kitab Tafsir. Jumlah semuanyaada 54 kitab. Setiap kitab meliputi
beberapa bab, dan pada setip babterdiri dari sejumlah hadits.
Menurut para jumhur ulama hadits, Shahih Muslim
menempati peringkat keduasetelah Shahih Bukhari. Sedangkan menurut sebagian
ulama wilayahMaghrib bahwa Shahih Muslim lebih tinggi dari Shahih Bukhari.
ShahihMuslim juga mendapat penerimaan dan
perhatian yang sangat besar olehpara ulama, diantaranya dengan cra membuat
syarah terhadap kitabtersebut. Di antaranya adalah : “Al-Minhaj fi Syarh
ShahihMuslim bin AL-Hajjaj” karya Abu Zakaria Muhyiddin An-Nawawi(676H),
kitab “Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim”karya Al Qadhi 'Iyadh (wafat
544H), dan kitab “Ad-Dibaj'Ala Shahih Muslm bn Al-Hajjaj”karya Imam
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakr As-Syuyuthi (wafat911H).
-Al-Jami' Ash Shahih karyaImam Abu Isa
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (wafat 279H), merupakankumpulan hadits shahih,
hasan, dan dha'if. Namun sebagian besardijelaskan derajat hadits tersebut,
dengan urutan bab-bab berikut:bab Thaharah, bab Shalat, bab Witir, bab Shalat
Jum'at, bab Haji, babjenazah, bab nikah, bab persususan, bab Thalaq dan Li'an,
babJual-beli, hingga diakhiri dengan bab Al-Manaqib. Kitab ini
biasanyadisamakan dengan sebutan “Sunan At-Tirmidzi”.
Selain itu juga telah ditulis kitab-kitab
mustadrak atas kitab-kitab jami'.Yang paling masyhur adalah Al-Mustadrak
'Ala Ash Shahihainkarya Abu Abdillah Al-Hakim (wafat 405H)
4. Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan
Fiqih
Karya ini tidak mencakup semua pembahasan
agama, tapi sebagianbesarnya saja, khususnya masalah fiqih. Metode yang dipakai
dalampenyusunan kitab ini adalah dengan menyebutkan bab-bab Fiqih
secaraberurutan, dimulai dengan kitab Thaharah, kemudian kitab Shalat,Ibadah
Muamalat, dan seluruh bab yang berkenan dengan hukum danfiqih. Dan kadang pula
menuebutkan judul yang tidak berkaitan denganmasalah fiqih seperti: Kitab Iman
atau Adab.
Karya yang terkenal dengan metode ini:
-As-Sunan, yaitukitab-kitab yang disusun
berdasarkan bab-bab tentang fiqih dan hanyamemuat hadits yang marfu'saja
agar dijadikan sebagai sumber bagi para fuqaha' dalammengambil
kesimpulan hukum.
1.As-Sunnan berbeda dengan Al-Jami'.Dalam
As-Sunan tidak terdapat pembahsan tentang aqidah, sirah,manaqib, dan lain
sebagainya, tapi hanya terbatas pada masalh fiqihdanhadits-hadits hukum saja.
Al-Kittani mengatakan, “Diantaranyakitab-kitba yang dikenal dengan As-Sunanmenurut
istilah mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkanurutan bab-bab
tentang fiqih mulai dari bab Iman, Thaharah, Zakat danseterusnya. Tidak ada
didalmnya sedikit pun hadits yang mauquf,sebab mauquf menurutmereka
tidak dinamakan sunnah,tapi hadits
Kitab-kitab Sunan yang terkenal adalah:
-Sunan Abi Dawud, karyaSulaiman bin
Asy'ats As-Sijistani (wafat 275H).
-Sunan An-Nasa'i , yangdinamakan dengan
“Al-Mujtaba, karya Abdurrahman Ahmad bin Syu'aibAn-Nasa'i (wafat 303H)
-Sunan Ibnu Majah karyaMuhammad bin
Yazid bin Majah Al-Qazwini (wafat 275H)
-Sunan Asy-Syafi'ikarya Imam Muhammad
bin Idris As-Syafi'i (wafat 204H)
-Sunan Ad-Darimi karyaAbdullah bin
Abdurrahman Ad-Darimi (wafat 255H)
-Sunan Ad-Daraquthnikarya Ali bin Umar
Ad-Daraquthni (wafat 385H)
-Sunan Al-Baihaqi karyaAbu Bakar Ahmad
bin Husein Al-Baihaq (wafat 458H).
2.Al-Mushannafat, jamakmushannaf.
Menurutistilah ahli hadits adalah sebuah kitab yang disusun berdasarkanurutan
bab-bab tentang fiqih yang meliputi hadits marfu',mauquf, dan maqthu',atau
di dalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan shahabat,fatwa-fatwa tabi'in
dan terkadang fatwa tabi'ut tabi'in.
5.
Metode Kitab-kitab yang Penyusunannya Menyatakan Komitmen
HanyaMenuliskan Hadits-hadits yang Shahih
Selain kitab-kitab Shahihain, Al-Muwaththa'
karya Imam Malik danAl-Mustadrak karya Al-Hakim ada beberapa kitab yang disusun
dengankriteria shahih oleh penulisnya.
Kitab-kitabnya antara lain:
1.
Shahih
ibnu Khuzaimah,karya Abi Abdillah Muhammadn bin Ishaq bin
Khuzaimah bin Al-MughirahAs-Sulaimi An-Naisaburi, guru Ibnu Hibbah (wafat 311H).
2.
Shahih
ibnu Hibban,karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (wafat
354H). As-Sakhawi berkata,“Ada yang mengatakan bahwa buku yang paling shahih
setelah ShahihBukhari dan Muslim dalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
6. MetodeTematik
Sebagianahli hadits menyusun karya-karya
tematik yang terbatas padahadits-hadits tertentu berkaitan dengan tema
tertentu, di antaranya:
1.At-Targhib wa At-Tahrib yaitu
kitab-kitab hadits yang berisikumpulan hadits tentang targhib (motivasi)
terhadap perintahagama, atau tarhib (ancaman)terhadap larangannya,
seperti targhib untukbirrul walidain(anjuranuntuk ta'at kepada
orang tua), dan tarhib untuktidak durhaka kepada keduanya Karya-karya
tentang hal ini antara lain:
-At-Targhib wa At-Tahrib,karya
Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (wafat656H).
-At-Targhib wa At-Tarhib,karya Abi Hafsh
Umar bin Ahmad, dikenal dengan nama Ibnu Syahin(wafat 358H).
2. Buku tentan kezuhudan, keutamaan amal, adab,
dan akhlaq, antaralain:
-Kitab Az-Zuhd karyaImam Ahmad bin
Hambal (wafat 241H).
-Kitab Az-Zuhd karyaAbdullah bin
AL-Mubarak (wafat 181H).
-Kitab Akhlaq An-Nabi karyaAbi Syaikh
Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Ashbahani (wafat 369H).
-Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid
Al-Mursalinkarya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (wafat 676 H).
7. Metode Kumpulan Hadits Hukum Fiqih (Kutubul
Ahkam)
Yaitu buku-buku yang memuat tentang
hadits-hadits hukum fiqih saja,di antaranya yang terkenal adalah:
-Al-Ahkam karya AbdulGhani bin Abdul
Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)
-Umdatul Ahkam 'an Sayyidil Anam,karya
Al-Maqdisi.
-A-Imam fi Haditsil Ahkam,karya Muhammad
bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Daqiqil 'Ied (wafat702 H)
-Al Imam bi Ahaditsil Ahkam,karya Ibnu
Daqiqil 'Ied, ringkasan dari Kitab Al-Imam
-Al-Muntaqa fi Ahkam, karya
AbdusSalam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)
-Bulughul Maran min Adillatil Ahkamkarya
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al 'Asqalani (wafat 852 H).
8. Metode Merangkaikan Al-Majami'
Al-Majami' jamak dari majma'yaitu setiap kitab yng
berisi kumpulan beberapa mushannafdan disusun berdasarkan urutanmushannaf
yang telahdikumpulkan tersebut.
Di antara majami' yang terkenal adalah:
- Jami' Al-Ushul minAhadits Ar-Rasul,
karya AbuAs-Sa'adat dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Atsir (wafat 606 H),
didalamnya terdapat kumpulan Kutubus Sitah (kitab Hadits yang enamyaitu Shahih
Bukhari, Shahih Mulmi, Sunan Abu Dawud, SunanAt-Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, dan
yang keenam adalah Al Muwaththa'Imam Malik sebagai ganti dari Sunan Ibnu Majah,
karena di dalamnyabanyak terdapat hadits-hadits dha'if. Oleh karenanya,
sebagianhuffazh menghendakisekiranya Musnad Ad-Darimi menempatiposisi
tersebut).
- Majma'Az-Sawa'id wa Manba'u Al-Fawa'id,karya
Al-Hafizh Ali bin Abu Bakar Al-Haitsam (wafat 807 H), berisikumpulan
hadits-hadits dalam Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya'laAl-Mushili, Musnad Abu Bakar
Al-Bazzar, dan Mu'jam Ath-Thabrani yangtiga: Al-Mu'jam Al-Kabir, Al-Mu'jam
Al-Awsath,dan Al-Mu'jam Ash-Shaghir,yang tidak terdapat di kutubus
sittah.
-Jam'u Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa
Majma' Az-Zawa'id,karya Muhammadn bin Muhamadbin Sulaiman Al-Maghribi
(wafat 1094 H),yang merupakan kumpulan dari dua kitab. Yaitu kitab Ibnu
Al-Atsir dankitab Al-Haitsami dan ditabah dengan tambahan dari Munad
Ad-Darimidan Sunan Ibnu Majah. Kemudian muncul sebuah ensiklopedia baru
yangmemuat ebih dari 10.000 hadits dari 14 kitab yaitu Shahih Bukhari,Shaih
Muslim, Al-Muwaththa', Sunan yang empat: Abu Dawud, An-Nasa'i,At-Tirmidzi, dan
Ibnu Majah, Musnad Ad-Darimi, Musnad Ahmad, MusnadAbu Ya'la, Musnad Al-Bazzar
dan Mu'jam Ath-Thabarani yang tiga:Al-Kabir, Al-Awsath, dan Ash-Shaghir.
9.Metode Al-Ajza' (jamak dari juz)
Yaitu
setiap kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawihadits, atau yang
berkaitan dengan satu permasalahan secaraterperinci, seperti:- Juz'u Ma Rawahu AbuHanifah 'an Ashshahabah, karyaUstadz bu Ma'syar Abdul Karim bin Abdush Shamad At-Thabari.
- Juz'u Ra'fil Yadain fiAs-Shalat, karya Al-Bukhari
10.Metode Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yanghanya menyebutkan
sebagian hadits yang dapatmenunjukkan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian
mengumpulkanseluruh sanadnya baik sanad satu kisah ataupun sanad dari
beberapakitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnadpara
shahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalumenyebutkan
pangkal hadits yang dapat menunjukkan ujunngya, sepertihadits nabi: “Kullukum
ra'in...”, “Buniyal Islamu 'AlaKhamsin...”, dan “Al-Imanu Bidh'un wa Sab'una
Syu'batan...”,demikian seterusnya.
Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah:
- Athrafu Ash-Shahihainkarya Muhamad
Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (wafat 401 H).
- Al-Isyraf 'Ala Ma'rifatiAl-Athraf atau
AthrafAs-Sunan Al-Arba'ah karyaAl-Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan
dikenal sebagai Ibnu Asakir.
- Tuhfatul Asyraf biMa'rifatil Athraf
atau AthrafAl-Kutub As-Sittah karyaAl-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf bin
abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)
- Ithaful Muharah binAthrafil Asyarah,
karyaAl-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hja Al-Asqalani (wafat 852 H).Al-Asyarahatau
kitabyang sepuluh adalah: Al-Muwaththa',Musnad Asy-Syafi'ie, Musnad
Ahmad, Musnad Ad-Darimi, ShahihIbnu Khuzaimah, Muntaqa Ibnul Jarud, Shaih Ibnu
Hibban, MustadrakAl-Hakim, dan SunanAd-Daruquthni. Jumlahnya
menjadi11 karena Shahih Ibnu Khuzaimah hanyaberisi seperempatnya saja.
- Athraf Al-Masanid Al-Asyarah,karya Abul Abbas
Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (wafat 840 H).Al-Asyarah atau munad yang
sepuluh adalah: Musnad Abu DawudAt-Thayalisi, Musnad Abu Bakar Al-Humaidi,
Musnad Musaddad binMusarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Al-Adani, Musnad Ishaq
binRawaih, Musnad Abu Bakar bin AbiSyaibah, Musnad Ahmad bin Mani',Musnad 'Abd
bin Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi Usamah,dan Musnad Abi Ya'la
Al-Mushili.
- Dzakha'ir Al-Mawarits fiAd-Dalalah 'Ala
Mawadhi' Al-Hadits,ini merupakan kumpulan athraf kutubus sittahdan Muwaththa'
ImamMalik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143 H)
11.Metode Kumpulan Hadits-hadits yang mesyhur
diucapkan di lisan atautematik
Pada beberapa kurun waktu, para ulama banyak
memperhatikan penulisanhadits-hadits yang masyhur diucapkan di kalangan
masyarakat lalumerka menjelaskan derajat hadits tersebut dari segi dha'if
danmaudhu'nya atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah sedemikianmasyhur.
Di antara ulama juga ada yang meperhatikan penulisan haditspalsu secara khusus.
Buku-buku yang terkenal di antaranya adalah:
- Al-La'ali' Al-Mantsurahfi Al-Ahadits
Al-Musyataharah min Ma Allafahu At-Thab'u wa Laisa LahuAshlun Fi Asy-Syar'i,
karyaAl-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852 H)
- Al-Maqashid Al-Hasanahfi Bayani Katsirin
Minal Ahadits Al-Mustaharah 'alal Alsinah, karyaMuhammad bin Abdurrahman
As-Skahawi (wafat 902 H)
- Ad-Durar Al-Muntatsirahfi Al-Ahadits
Al-Musytaharah,karya Jalaluddin As-Syuyuthi (wafat 911 H).
- Tamyizu At-Thayyib minAl-Khabits fi Ma
Yadhurru 'ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits,karya Abdurrahman bin Ali
As-Syaibani (wafat 944 H)
- Kasyful Khafa' waMuzilul Ilbas 'Amma
Isytahara minal Ahadaits 'ala Alsinati An-Nas,karya Ismail bin Muhamad
Al-Ajluni (wafat 1162 H)
- Asna Al-Mathalib fiAhadits Mukhtalifil
Maratib,karya Muhamad bin Darwisy yang terkenal dengan nama
Al-HuutAl-Bairuni (wafat 1276 H).
- Al-Maudhu'at,karya Ibnul Jauzy (wafat
597 H)
- Al-Manar Al-Munif fiAsh-Shahih wa
Adh-Dha'if karyaIbnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H), ditahqiq Syaikh
Abdul FattahAbu Ghuddah.
- Al-La'ali' Al-Mashnu'ahfi Al-Ahadits
Al-Maudhu'ah karyaJalaluddin Asy-Syuyuthi (wafat 911 H).
- Al-Mashnu'fi Ma'rifati Al-Hadits
Al-Maudhu',karya Allamah Nuruddin Ali bin Muhammad yang dikenal dengan
namaAl-Mulla Ali Al-Qari AlHarawi (wafat 1014 H), tahqiq: Syaikh AbdulFattah
Abu Ghuddah.
- Al-Asrar Al-Marfu'ah fiAl-Akhbar
Al-Maudhu'ah, yangdikenal dengan, Al-Maudhu'at Al-Kubra,karya
Al-Mulla Ali Al-Qari', tahqiq: Muhammad As-Shabbagh.
- Al-Fawaid Al-Majmu'ah fiAl-Ahadits
Al-Maudhu'ah, karyaAsy Syaukani (wafat 125 H)
- Silsilah Al-HaditsAdh-Dha'ifah, karya
SyaikhMuhammad Nashiruddin Al Albani.
12.Metode Az-Zawa'id
Zawa'id adalah karya berisi kumpulan
hadits-hadits tambahan terhadaphadits yang ada pada sebagian kitab-kitab yang
lain.
Buku-buku yang terkenal dalam bidan ini antara
lain:
- Mishbah Az-Zujajah fiZawa'id Ibnu Majah,
karya AbuAbbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (wafat 84 H), bukan
Al-BushairiMuhammad bin Sa'id (wafat 696 H) sang penyair yang
menyusun“Al-Burdah”. Kitab in imencakup tambahan Sunan Ibn Majah ataslima kitab
pokok aitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, SunanAt-Tirmidzi, Abu Dawud, dan
An-Nasa'i.
- Ithafu As-Sa'adahAlMaharah Al-Khairah bi
Zwa'idi Al-Masanid AL-'Asyarah, karyaAl Bushairi juga yang merupakan
tambahan terhadap kutubussittah: (Musnad AbuDawud Ath-Thayalisi,
Musnad Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad,Musnad Muhammad bin Yahya
Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaih, MusnadAbu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad Ahmad
bin Mani', Musnad 'Abd binHumaid, Musnad Harits bin Muhammad bin Abu Usamah,
dan Musnad AbuYa'a Al-Mushili)
- Al-Mathalib Al-'Aliyah bin Zwa'idiAl-Masanid
Ats-Tsamaniyah, karya Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibn HajarAl-Asqalani (wafat 852
H), yang merupakan tambahan dari sepuluhmusnad di atas kecuali Musnad Abu
Ya'la Al-Mushili,Musnad Ishaq bin Rahawaihatas kutubus sittah danMusnad
Ahmad.
- Majma' Az-Zawa'id waManba'ul Fawa'id,
karyaAl-Haitsami, yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam Al-Majami'.Kitab
ini berisi beberapa buku hadits sehingga menyerupai majami',dan karena bersii kumpulan
hadits-hadits ambahan pada sebagian kitab,maka layak pula disebut zawa'id.
BAB IV
HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN AGAMA
A.
KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM
1.
Dalil / Dasar Kewajiban
Mengikuti Sunnah
Dalil Al-quran, firman
Allah:
Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada
kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7)
2.
Dalil Hadis Nabi SAW :
Artinya”aku tinggalkan
dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu
Hurairah)
3.
Ijma’
Dalil dari Ijma
(kesepakatan Ulama) Umat Islam telah mengambil keputusa bersama untuk
mengamalkan sunah. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi
panggilan Allah SWT, Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima
sunah seperti mereka menerima al-Qur‟an, karena berdasarkan kesaksian
dari Allah, sunah merupakan salah satu sumber syariat.
B. FUNGSI HADITS SEBAGAI AL-QUR’AN
Bayan at-tafsir
Bayan at-taqrir
Bayan an-nasakh
BAB V
STRUKTUR HADITS
A. KOMPONEN-KOMPONEN HADITS
Secarai struktur, hadits terdiri dari tiga
struktur, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan
(redaksi hadits), dan mukharij (rawi). Berikut ini contoh hadits yang
memuat ketiga unsur tersebut.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ:
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار(رواه البخاري)ِ
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW., bahwa
beliau bersabda, ‘Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang,
orang itu akan merasakan manisanya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena
Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana
kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka’.” (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut kita lihat bahwa hadits
tersebut terdiri dari tiga komponen, yang pertama sanad,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW.”
Kedua adalah matan,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ
فِي النَّار
Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri
seseorang, orang itu akan merasakan manisanya iman. Hendaknya Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai
orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada
kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka.
Di samping dua komponen utama tersebut, dalam
hadits tersebut juga ada komponen tambahan yang menyebutkan sumber dan asal
hadits itu dinukil, yang disebut dengan mukharij
(rawi)
(رواه البخاري)
Riwayat Bukhari
Maksudnya hadits
tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehungga kita bisa melacak hadits tersebut
dalam Shahih Bukhari.
B.
SANAD HADITS
1. Pengertian Sanad Hadits
Sanad dari segi bahasa berarti bagian bumi yang menon-jol, sesuatu yang berada dui hadapan Anda dan
uang jauh dari kaki bukit ketika Anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalah Segala sesuatu yang Anda sandarkan
kepada yang lain disebut disebut Dikatakan maknanya’Seseorang mendaki gunung’.
Dikatakan pulamaknanya ‘Seseorang menjadi tumpuan’.
الطر يقة المو صلة إلى المتن
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits
Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur ini adakalanya disebut sanad, adakalanya karena periwayat
ber-sandar kepadanya dalam menisbatkan matan
kepada sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang
menyebutkan sanad’ dalam mengetahui shahih atau dhaif suatu hadits.
سلسلة الرجا ل المو صلة للمتن
Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits
Silsilah orang-orang
maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi
hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW., yang
perkataan, perbuatan, taqrir, dan
l;ainnya merupakan materi atau matan hadits.
Dengan pengertian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku kepada serangkaian
orang, bukan dilihat dari pribadi secara perseorangan. Adapun sebutan untuk
pribadi, yang menyam-paikan hadits dilihat dari sudut orang perorangan, disebut
rawi.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara ter-perinci, sebagai
berikut:
Jalan matan hadits, yaitu silsilah para rawi
yang menukilkan matan hadits dari sumber yangpertama (Rasulullah SAW)
Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur,
mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga
Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat. Contohnya adalah hadits berikut:
2. Isnad,
Musnad, dan Musnid
Selain istilah sanad,
terdapat uga istilah lainnya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad, seperti, al-isnad, al-musnad, dan al-musnid.
Istilah al-isnad, berarti
‘Menyandarkan, menegaskan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat’ Yang
dimaksud di sini adalah:
رفع الحد يث الى قاإله
Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya
Atau,
عز والحد يث الى قاإله
Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya
Menurut Ath-Thibi, seperti yang dikutip oleh Al-Qasimi,
kata isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama
atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya, ulama
muhaditsin memendang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama,
yang keduanya dapat dipakai secara bergantian.
Istilah
Al-Musanid mempunyai beberapa arti
yang berbeda dengan istilah al-isnad, yaitu
pertama, berarti hadits yang
diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan
kepada seseorang yang membawakannya, seperti Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik bin
Anas, dan Amrah binti Abd. Ar-Rahman; kedua,
berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem
penyusunan berdsarkan nama-nama para sahabat rawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad; ketiga, berarti nama bagi
hadits yang memenuhi kriteria marfu’, (di-sandarkan
kepada Nabi SAW) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai akhirnya)
3.
Jenis-jenis Sanad Hadits
a. Sanad
‘Aliy
Sanad ‘aliy adalah
sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad
lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertokal dengan sanad
yang sama jika rawinya lebih banyak. Sanad ‘aliy
ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Sanad ‘Aliy yang bersifat mutlak adalah sanad
Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah bergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu kea rah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya
itu karena dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang wanita yang akan
dikawininya, hijrahnya itu kearah apa yang ia tuju.
Terkait dengan matan
atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah
berujung pada Nabi Muham-mad SAW atau bukan.
2. Matan hadits itu sendiri dalam
hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al-Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
D. RAWI HADITS
Kata rawi atau ar-rawi berarti
orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil Al-Hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi
pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas,
jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu: pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima
hadits-hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan
demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan
menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan hanya
menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini,
dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah
rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi
disebut sanad hadits sebab ada rawi
yang membukukan hadits. Kedua, dalam
penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang
disebut sanad pertama adalah orang
yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasulullah SAW. dengan demikian,
penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
Untuk lebih memperjelas uraian
tentang sanad, rawi, dan matan di atas, lihat penjelasan lebih
lanjut pada hadits di bawah ini,
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan
(hadits) kepada kami, katanya: “Abu MUawiyyah telah menceritakan (hadits)
kepada kami, yang diterimanya dari Al-A’masy, dari Umarah bin Umar, dari Abd
Ar-Rahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: ‘Rasulullah SAW telah
bersabda kepada kami: “Wahai sekalian pemuda! Barang siapa yang sudah mampu
untuk melakukan pernikahan, maka manikahlah. Karena, dengan menikah itu (lebih
dapat) menutup mata dan lebih dapat menjaga kehormatan. Akan tetapi, barang
siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena, dengan
berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nama Abu Bakr bin Abi
Syuaibah sampai dengan Abdullah bin Mas’ud merupakan silsilah tau rangkaian
satu susunan orang-orang yang menyampaikan hadits. Mereka semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga disebut
sebagai jalan matan.
Mulai kata “yama’ syara asy-syabab” sampai kata ”fainnahu lahu wijaaun”, adalah matan
atau materi atau lafadz hadits tersebut, yang mengandung makna-makna
tertentu. Dalam salah satu definisi, lafadz-lafadz tersebut disebut sebagai
ujung atau tujuan sanad.
Adapun nama Bukhari dan Muslim, yang ditulis pada akhir
matan di-sebut rawi (orang yang meriwayatkan hadits). Karena keduannya
(masing-masing) membukukan hadits, mereka disebut mudawwin (yang membukukan hadits).
E. KEDUDUKAN SANAD DAN
MATAN HADITS
Kedudukan sanad dalam
hadits sangat penting karena hadits yang diper-oleh/diriwayatkan akan mengikuti
siapa yang meriwayatkan. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat
diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau
tidak shahih, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk
menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa hadits atau atsar yang
menerangkan keutamaan sanad, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Ibnu Sirin,
Ilmu ini (hadits ini) adalah agama karena itu telitilah
orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka.
Abdullah Ibnu Mubarak berkata:
Menerangkan sanad hadits termasuk tugas agama. Andai tidak
diperlukan sanad, tentu siap saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.
Antara kami dengan mereka adalah sanad. Perumpamaan orang yang mencari
hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki
loteng tanpa tangga.
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu
dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yang
luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka, terperiharalah sunnah Rasul dari
tangan–tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits
berusaha pergi dan melayat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang
terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad ‘ali
Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu
keistimewaandari ketentuan-ketentuan umat Islam. Dengan adanya sanad inilah,
para imam ahli hadits dapat membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif
dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya
Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya kaerena pada zaman
sebelumnya tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan
orang-orang saleh diantara mereka tidak dapat dibedaka. Adapun Islam yang
sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan
Rasulullah SAW dan perkataan sahabat.
BAB VI
ILMU HADITS
A.Pengertian Ilmu Hadits
Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan para ulama adalah “segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat”. Jadi apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Penulisan
ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H.
Jadi secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini
menjadi dua bagian yaitu :Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1.
Ilmu
Hadits Riwayah
Kata
riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu
Hadits yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat
mendefenisikan tentang ilmu Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di
antara para ulama yaitu defenisi ibnu Al-Akhfani beliau berpoendapatan bahwa
ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan
danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian
lafadz-lafadznya.
Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang disadarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu juga yang menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabiin yang meliputi :
a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.
Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.
Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah abu bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan sejarah Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi SAW atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.
2.Ilmu Hadits Dirayah
Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain ilmu ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.
Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun memberikan defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah ibn Al-Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau ditolaknya
.
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang sanad adalah :
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang sanad adalah :
a.Persambungan sanad
b.Keterpercayaan sanad
c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad
d.Keselamatan dari cacat
e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.
Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.
b.Terdapat catat pada makna Hadits.
c.Dari kata-kata asing.
Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :
1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.
2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, periwayatan Hadits.
3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.
4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan hukum syara.
Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits Dirayah secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi.
B.Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali Al-Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.
Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :
1.Ilmu Rijal Al-Hadits
Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu Rijal Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun dari generasi-generasi sesudahnya.
2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul
Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil artinya menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi. Sedangkan para ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan sifatsifat yang membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.
3.Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.
4.Ilmu Ilal Al-Hadits
Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al-hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits, namun dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli hadits mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang menqati, memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.
5.Ilmu Gharib al- Hadits
Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum.
6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk
Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin. Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat [membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan ilmu Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan Nasikh.
7.Ilmu Talfiq al-Hadits
Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan.
8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif
Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha menerangkan dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan bentuknya.
9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits
Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut As-suyuti pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.
10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits
Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli Hadits.
C.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan periode Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits yang disertai dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang disampaikan Nabi kepada mereka.
Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits. Apabila seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera menemu Rasulullah atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya setelah itu barulah ia menerima dan mengamalkan Hadits itu.
Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan, misalnya khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat dapat menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam menyusun suatu hadits yaitu :
1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja.
2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya.
3.Kritik terhadap matan hadits.
Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn Syihab Az-Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.
BAB VII
PEMBAGIAN HADITS
A. PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUANTITAS RAWI
1. Hadits
Mutawatir
a.
Pengertian Hadits mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan
menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
b. Pembagian
Hadits Mutawatir
Para ulama
membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
·
Hadits Mutawatir Lafzi
Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik
hukum maupun ma’nanya.
·
Hadits Mutawatir Ma’nawy
Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan
maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.
·
Hadits Mutawatir Amaly
Sesuatu yang
mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di
antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu
2. Hadis
Ahad
a.
Pengertian hadis ahad
Menurut
Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul
padanya syarat-syarat mutawatir.
b. Pembagian
Hadits Ahad
Pembagian
hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga tingkatan
yaitu :
·
Hadits Masyhur
Hadits yang di riwayatkan oleh tiga
orang atau lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.
·
Hadits ‘Azis
Hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang, walupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah
saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada meriwayatkannya.
·
Hadits gharib
Hadits yang dalam sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi.
4.
Hadits Gharib
Menurut bahasa, gharîb bermakna
yang asing, bersendirian, atau yang jauh dari kerabatnya.
Menurut istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan bersendirian
oleh satu orang, walaupun hanya pada satu tingkatan sanad.
Hadits gharib kadang diistilahkan juga dengan “al-Fard”,
walaupun sebagian ulama membedakan antara keduanya.
B. KLASIFIKASI
HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI
1. Hadits
Sahih
Hadits Sahih
adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.
Hadits
shahih terbagi kepada dua bagian:
·
Shahih li-dzatihi
Hadits yang sanadnya
bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari
orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak
mengandung cacat yang para
·
Shahih li-ghairih
Hadits yang keadaan rawi-rawinya
kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga
karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa
atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
2. Hadis
Hasan
Hadits Hasan
adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang kurang sedikit
kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi SAW. dan tidak
mempunyai ‘Illat serta syadz.
Menutut Ibnu
Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:
·
Hasan li-dzatihi
Berita
Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi
hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits
shahih.
·
Hasan
li-ghairih
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari
seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan
lain-lainnya.
C.
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI
1. Hadits Marfu’
Hadits
Marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu
terputus.
2. Hadits Mauquf
Hadits
Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu
terputus.
Contoh:
3. Hadits
Maqtu’
Hadits
Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang
yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.
BAB VIII
ILMU AL-JARH WA
AT-TA’DIL
A.
Pengertian al jarh wa at ta’dil
Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang
terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa
merupakan bentuk mashdar, dari kata جرج – يجرح , yang berarti, seseorang membuat luka pada
tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi
yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya,
yanga mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak
riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang
membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak diterima.
Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat,
maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, maka periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain
untuk menerima hadits dipenuhi.
Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib
(cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.
Dr. ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :
الْعِلْمُ الَّذِيْ
يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ
رَدِّهَا
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima
atau ditolak riwayat mereka”
B.
MANFAAT ILMU
AL-JARH WA AT-TA’DIL
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat
untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dam apabila seorang rawi
dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist tersebut terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu
al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak
menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti
secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan
lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya, mereka yang menyandarkan
hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat
yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa
at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun
hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
C.
METODE UNTUK
MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN MASALAH-MASALAHNYA
Dalam uraian yang baru lalu telah
dikemukakan bahwa : menta’dilkan ialah memuji rawi dengan sifat –sifat yang
membawa ke-‘adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan
riwayat. Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua
ketetapan, yaitu :
1.
Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang
yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di
kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin
Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu
sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
2. Dengan
pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal
sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
ini dapat dilakukan oleh :
-
Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang
yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan
riwayat (hadist). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula
untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat para fuqaha’ yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyah seorang rawi.
-
Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun
perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui
sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat
ditempuh melalui dua jalan :
-
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang
rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai
jalan untuk menetapkan kecacatannya.
-
Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui
sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para
Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-sekurangnya harus
ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya seorang rawi,
diantaranya apabila penilaian itu secara mubham dan ada
kalanya mufasaT. Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam
beberapa pendapat, yaitu:
-
Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu
banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja.
Adapun mentarjihkan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya,
karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang
itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang
mentarjihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.
-
Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu.
Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan,
sedangkan mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.
-
Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
-
Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan
mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara
sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman
tentang penilaian terhadap rawi.
Masalah berikutnya adalah
perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup
untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :
-
Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian
pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.
-
Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab,
bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula
disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawi. Berlainan dalam soal
syahadah.
-
Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu
diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu,
maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik,
As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan
lain-lainnya.
D.
SYARAT-SYARAT
BAGI ORANG YANG MENTA’DILKAN DAN MENTARJIHKAN
Kita tidak boleh menerima begitu
saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainny, melainkan harus jelas
dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat
padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung
suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi orang-orang yang menta’dilkan
dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut ini, yaitu :
-
Berilmu pengetahuan
-
Takwa
-
Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa
kecil dan makruhat-makruhat).
-
Jujur
-
Menjauhi fanatik golongan
-
Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.
E.
PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH WA AT-TA’DIL
Terkadang, pertanyaan-pertanyaan
ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling
bertentangan. Sebagian mentarjihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila
keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan
sebenarnya. Sebagian ulama mentarjihkan dan sebagian ulama lainnya menta’dilkan
dalam 4 pendapat, yaitu :
1.
Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak
daripada jarhnya. Sebab bagi jarhh tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak
diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa
yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarihnya memberitakan urusan
batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh
Jumhuru ‘I-ulama.
2.
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak karena
banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan.
Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil.
Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah
pernyataan yang mentajrih.
3.
Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan,
kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan
dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.
4.
Masih tetap dalam keta’arudlannya selama belum ditemukan yang merajihkannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah
mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan
jarihnya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan keputusan ijma’.
F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil
Lafadz-lafadza yang
digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki
tingakatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam Nawawi,
lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan. Menurut Al-Hafidz Al-Dzahaby dan
Al-‘Iraqy tersusun menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan, yaitu:[1][1]
1.
Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi
a.
Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang
mengandung arti sejenis, misalnya:
Ø Orang yang paling tsiqah (أَوْثَقُ النَّاسْ)
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (أَثْبَتُ
النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً)
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (إِلَيْهِ
الْمُنْتَهَى فِى الثّبت)
Ø Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (ثَقَةُ فَوَقَ الثَّقَةِ)
b.
Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat
yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu
selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna, misalnya:
Ø Orang yang teguh (lagi) teguh (ثُبُتٌ ثُبُتْ)
Ø Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَةْ)
Ø Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (حُجَّةٌ حُجَّةْ)
Ø Orang yang teguh (lagi) tsiqah (ثُبُتٌ ثِقَّةْ)
Ø Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حَافِظٌ حُجَّةْ)
Ø Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (ضَابِطٌ
مُتْقِن).
c.
Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan,
misalnya:
Ø Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (ثُبُتٌ)
Ø Orang yang meyakinkan (ilmunya), (مُتْقِنٌ)
Ø Orang yang tsiqah (ثِقَةٌ)
Ø Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حَافِظٌ)
Ø Orang yang hujjah (حُجَّةٌ).
d.
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
Ø Orang yang sangat jujur (صَدُوْقٌ)
Ø Orang yang dapat memegang amanat (مَأْمُوْنٌ)
Ø Orang yang tidak cacat (لَابَأْسَ بِهْ).
e.
Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan,
misalnya:
Ø Orang yang berstatus jujur (مَحِلُّهُ الصِّدْقُ)
Ø Orang yang baik hadisnya (جَيِّدُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang bagus hadisnya (حَسَنُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah
(مُقَارِبُ الْحَدِيْث).
f.
Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan
diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan
(pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan,
misalnya:
Ø Orang yang jujur, insya Allah (صُدُوْقٌ إِنْشَاءَ
الله)
Ø Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (فُلَانٌ
أَرْجُوْ بِأَنَّ لَابَأْسَ بِه)
Ø Orang yang sedikit kesalehannya (فُلَانٌ صويلح)
Ø Orang yang di harapkan diterima hadisnya (فُلَانٌ
مَقْبُوْل حَدِيْثُهُ)
Para ahli ilmu
menggunakan haits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits
para rawi yang dita’dil menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.[2][2]
a.
Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain
(seperti sighat muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya
dengan itu, misalnya:
Ø Orang yang paling dusta (اَوْضَعَ النَّاْس)
Ø Orang yang paling bohong (اَكْذَبُ النَّاسْ)
Ø Orang yang paling top kebohongannya (اِلَيْهِ
الْمُنْتَقَى فِى الْوَضْعِ)
b.
Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,
misalnya:
Ø Orang yang pembohong (كَذَّابُ)
Ø Orang yang pendusta (وَضَّاعٌ)
Ø Orang yang penipu (دَجَّالْ)
c.
Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
Ø Orang yang dituduh
bohong (فُلَانٌ مِتَّهَمٌ بِاْلكَذْبِ)
Ø Orang yang dituduh
dusta (اَوْمُتَّهِمٌ بِالْوَضْعِ)
Ø Orang yang perlu
diteliti (فُلَانُ فِيْهِ النَّظْرُ)
Ø Orang yang gugur (فُلاَنٌ سَاقِطٌ)
Ø Orang yang hadisnya
telah hilang (فُلَانٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang ditinggalkan
hadisnya (فُلَانٌ مَتْرُوْكُ الِحَدِيْث)
d.
Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
Ø Orang yang dilempar
hadisnya (مُطْرَحُ الْحَدِيْثُ)
Ø Orang yang lemah (فُلَانٌ ضَعِيْفٌ)
Ø Orang yang ditolak
hadisnya (فُلَانٌ مَرْدُوْدٌ الْحَدِيْث)
e.
Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya,
misalnya:
Ø Orang yang tidak dapat
dibuat hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَايُحْتَجُّ
بِهِ)
Ø Orang yang tidak
dikenai identitasnya (فُلَانٌ مَجْهُوْلٌ)
Ø Orang yang mungkar
hadisnya (فُلَاٌن مًنْكَرٌ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang kacau
hadisnya (فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang banyak
menduga-duga (فُلَانٌ وَاهٍ)
f.
Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat
itu berdekatan dengan adil, misalnya:
Ø Orang yang didla'ifkan
hadisnya (ضُعِّفَ حَدِيْثَهُ)
Ø Orang yang
diperbincangkan (فُلَانٌ مُقَالٌ فِيْهِ)
Ø Orang yang disingkiri (فُلَانٌ فِيْهِ خَلْفٌ)
Ø Orang yang lunak
(فُلَانٌ لَيَّن)
Ø Orang yang tidak dapat
digunakan hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَيِسَ
بِالْحُجَّةْ)
Ø Orang yang tidak kuat (فُلَانٌ لَيْسَ بِالْقَوِى)
Orang yang ditarjih
menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan
kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat
membandingkan).
BAB IX
HADIS MAUDHU’
hadits maudhu adalah hadits yang
diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam
secara sengaja.
Faktor munculnya hadis maudhu’:
·
Pertentangan
politik dalam soal pemilihan khalifah
·
Adanyakesengajaan
dari pihak lain untuk merusak ajaran islam
·
Mempertahankan
mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam
·
Membangkitkan
gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah
·
Menjilat
para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah
Ciri-ciri hadis maudhu’ :
Ø Ciri yang terdapat pada sanad
·
Rawinya
terkenal berdusta
·
Pengakuan
dari si pembuat sendiri
·
Kenyataan
sejarah
·
Keadaan rawi
dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’
Ø Ciri yang terdapat pada matan
·
Keburukan
susunan lafadznya
·
Kerusakan
maknanya
BAB X
TAKHRIJUL
HADIS
Takhrij adalah penunjukan terhadap
tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya
sesuai keperluan.
Tujuan pokok men-tahrij hadis
adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk
mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.
.
cara mentakhrij hadis:
·
Pertama kita
mencari subuah hadis
·
Selanjutnya
kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama
·
Kata saama
kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )
·
Di situ akan
tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.
Misal: kha-iman-32 (berarti
kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab iman, hadis yang
ke 32)
·
Setelah kita
melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.
·
Setelah itu
kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir,
tahun,masa, guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi
pada kitab tahzibul-tahzib atau tahzibul kamal,dsb
·
Untuk
mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.
BAB XI
INGKAR AS-SUNNAH
A. Pengertian Ingkar sunnah
Terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.Menurut Daud Rasyid (2006:207) “ Inkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun seluruhnya“. Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara pendapat Nurcholis Majid (2008:27) “ Yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya “. Nurcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran). Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam. Dan menurut Ibid (2007:5) “Inkar as-sunnah tidak semata-mata penolakan total terhadap sunnah, penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk inkar as-sunnah “. Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.
B. Sejarah Ingkar As-Sunnah
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.
3. Ingkar Sunnah pada Periode Modern
Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang).
Sebagaimana kelompok ingkar
sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk
menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87
ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
.
B. Argumentasi Kelompok Ingkar As-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argument-argumen yang dijadikan landasan mereka. Tanpa argument-argumen itu, pemikiran mereka tidak berpengaruh apa-apa. Argument mereka antara lain :
1. Agama bersifat konkrit dan pasti Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada hal yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai hadits, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama islam itu bersumber dari hadits , ia tidak akan memiliki kepastian karena hadits itu bersifat dhanni (dugaan), dan tidak sampai pada peringkat pasti.
2. Al-Quran sudah lengkap Jika kita berpendapat bahwa al-quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara jelas mendustakan al-quran dan kedudukan al-quran yang membahas segala hal dengan tuntas. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali al-quran.
3. Al-Quran tidak memerlukan penjelas Al-quran tidak memelukan penjelasan, justru sebaliknya al-quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Mereka menganggap bahwa al-quran cukup memberikan penjelasan terhadap segala masalah.
RESUME
ULUMUL HADITS
Judul : Ulumul Hadits
Tahun terbit : 2008
Penulis : Drs. M. Solahudin,
M.Ag & Agus Suyadi, Lc.M.Ag.
Penerbit : CV Pustaka Setia
Alamat Penerbit : Jl. BKR (Lingkar Selatan) No. 162-164
Bandung
Jumlah Halaman : 252 hlm
Peresum : Fitri Masturoh
BAB
I
PENGERTIAN
HADITS DAN BENTUK-BENTUK HADITS
A.
PENGERTIAN HADITS
1.
Pengertian Hadits secara etimologis
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu
al-hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis
, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari
al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.
2.
Pengertian Hadits Secara Terminologi
Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun
ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan
pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan
masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang
di dalaminya. Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut : “Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”. Adapun menurut istilah para fuquha, hadis
adalah: “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut
dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”
B.
PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
1.
Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji
atau tercela.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
2.
Pengertian Khabar
Secara bahasa berarti
berita atau warta yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan
menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW
atau dari yang selain Nabi SAW.
3. Pengertian Atsar
Dari segi bahasa, atsar
berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama, atsar mempunyai
pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama
lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.
C.
BENTUK-BENTUK HADITS
Bentuk-bentuk
hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan),
hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1.
Hadits Qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan,
atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek
aqidah, syari’at maupun akhlak.
2.Hadits Fi’li
Hadits
fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits
tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan
perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya.
3. Hadits Taqriri
Hadits
taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh
para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan atau mempermasalahkannya.
4. Hadits Hammi
Hadits Hammi : hadits yang berupa
keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa
tanggal 9 ‘Asyura.
5.HaditsAhwali
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.
D.
Hadits
Qudsi
Hadits qudsi secara bahasaa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi, hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.
Secara terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
E.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN ANTARA HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI
Persamaannya
yaitu : antara hadits qudsi & hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah
SWT. Kalau perbedaannya yaitu : hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan
diriwayatkan dari beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT
& Rosul Saw hanya menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
F.
PERBEDAAN
AL-QURAN DENGAN HADITS QUDSI
1.Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah SWT yang menantang & mukjizat yang abadi hingga hari akhir, sedangkan hadits qudsi tidak digunakan untuk menantang & tidak pula untuk mukjizat.
2.Al-Quran Al-Karim hanya dinisbatkan untuk Allah SWT, sedangkan hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah SWT & kadang juga disandarkan kepada Rasulullah Saw.
3.Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafadz maupun maknanya & merupakan wahyu Allah, sedangkan hadits qudsi itu maknanya saja dari Allah & lafadznya dari Rasulullah Saw.
BAB
II
A. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS
Perkembangan
hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi.
M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.
Periode
ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a.
Abdullah Ibn
Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b.
Ali Ibn Abi
Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c.
Anas Ibn Malik
2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)
Periode
ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan
hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat
kecil dan tabiin.
Periode
ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan
meluasnya periwayatan hadis).
Adapun
tokoh-tokohnya :
•
Abu hurairah,
menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut
al-kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
•
Abdullah ibn
umar meriwayatkan 2.630 hadits.
•
Aisyah, istri
Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.
•
Abdullah ibn abbas
meriwayatkan 1.660 hadits.
•
Jabir ibn
‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
•
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.
4. Periode
keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah
Pada
periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa
ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama,
golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua,
golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga,
golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Periode
ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh atau asas inisiatif pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum
abad II H hadits sudah banyak di tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil,
sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada
awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun
101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar
Ibn Aziz berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits dalam
satu buku dari para perowinya langsung.
Sekalipun
demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :
1.
Pengumpul
pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.
Pengumpul
pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.
Pengumpul
pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)
4.
Pengumpul
pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)
5.
Pengumpul pertama
di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6.
Pengumpul
pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)
7.
Pengumpul
pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)
8.
Pengumpul
pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.
Pengumpul
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)
10.
Pengumpul
pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).
5. Periode
Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad
ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab
Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut
dengan gembira, kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya
semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.Para ulama
pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan
shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya
dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal
berikut.
a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits.
Tokoh-tokoh
dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir
Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari,
Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah
Ad-Dainuri.
6. Periode
Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan
ke-2).
Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.
7. Periode
Ketujuh (656 H-sekarang)
Periode
ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim
(w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa
At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an,
dan pembahasan.
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab
hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab
Jami’ yang umum.
Sebagaimana
periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang menyusun
kitab ‘Athraf.
Tokoh-tokoh
hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu
Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852
H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794
H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H),
Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w.
806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).
B.
MADRASAH-MADRASAH HADIS
Madrasah
hadis adalah tempat atau pusat penyebaran hadis Nabi SAW. Berkembangnya
madrasah hadis ini diawali ketika Rasul mengutus para sahabat untuk berdakwah
keberbagai pelosok negri, seperti Irak, Yaman, Mesir, dan sebagainya. Ditempat
inilah mereka mengajar agama termasuk mengajar hadis-hadis yang telah mereka
dapatkan dari Rasul SAW.
Madrasah hadis
tersebut melahirkan tokoh-tokoh terkenal, baik dari golongan sahabat, tabiin,
maupun atba’ tabiin.
1.
Madrasah
Madinah
2.
Madrasah Mekah
3.
Madrasah Yaman
4.
Madrasah
Bashrah
5.
Madrasah Kufah
6.
Madrasah Syam
7.
Madrasah Mesir
BAB
III
SEJARAH
PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS
A.
Penulisan Hadits
Sebelum agama Islam
datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka
lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bisa
menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka.
Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin
Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arabdalam surat yang
ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di
Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum
kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca.
Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota
Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.
Banyak akhbar
yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekkah
daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada
para tawanan dalam Perang Badar dari Mekkah yang mampu menulis untuk
mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri
mereka.
Hadits atau sunnah
dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan
Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi
karena tidak diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits
yang peernah mereka dengar dari Rosulullah SAW.
Diantara sahabat
Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW adalah
Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan
Abdullah.
Dan mereka berkata
kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada
Rasulullah SAW. Mengenai hal trsebut, Rasulullah kemudian bersabda :
اُكْتُبْ عَنِّيْ
فَوَالَّذِيْ بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِيْ إِلَّاَ حَقٌّ
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan
Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan.
Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih
banyak (lebih mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin
Amru bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak
menulisnya.” Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits
di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits yang memberi izin yang datang kemudian.
B.
Penghapalan Hadits
Para sahabat dalam
menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni
menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam buku.
Karena itu kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan
hati-hati yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam
sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan dan
mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Nabi karena tidak
semua dari mereka dapat mengikuti atau menghadiri majelis nabi setiap waktu.
Kemudian, para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya
dan berupaya mengingat yang pernah Nabi lakukan lali menyampaikannya kepada
orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang
sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui Nabi SAW. Diantara
sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits adalah Abu
Hurairah. Menurut ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berjumlah 5.374 buah hadits. Adapun sahabt yang paling banyak hapalannya
sesudah Abu Hurairah adalah:
1. ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits
4. ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits
6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits
C.
Pembukuan Hadits
Pada abad pertama
Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian besar masa
Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu
berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada
waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hapalannya.
Ide penghimpunan hadits
nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah Umar bin Khaththab
(w. 23 H/644 M). namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena
khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintaha
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni
tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar
bin Abdul Aziz terkenal sebagai seorang Khalifah dari Bani Umayyah yang
terkenal adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang
kelima.
Beliau sangat waspada
dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin
sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya akan dapat
memusnahkan hadist-hadist itu dengan sendirinya.
D. METODE PEMBUKUAN HADITS
1. Metode Masanid.
Masanidyaitu
jamak dari sanad, maksudnya, buku-buku yang berisitentang kumpulan
hadits setiap shahabat secara tersendiri, baikhadits shahih, hasan,
ataupun dha'if. Kadangdiurutkan berdasarkan huruf hijaiyah atau alfabet
sebagaimana jugadilakukan oleh para ulama, kadang juga berdasarkan kabilah atau
suku,atau berdasarkan orang yang paling dulu masuk Islam.
Buku-bukuyang terkenal adalah:
- MusnadAbu Dawud Sulaiman bin Dawud at
Thayalisi (wafat 204H) [1]
- MusnadAbu Bakar Abdullah bin Az-Zubair
Al-Humaidy (wafat 219H)
- MusnadImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H)
- MusnadAbu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar
(wafat 292H)
- MusnadAbu Ya'la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna
Al-Mushili (wafat 307H)
2. MetodeAl-Ma'ajim
Metodeini adalah jamak dari mu'jam.
Adapun menurut istilah par ahlihadits adalah: Buku yang berisi kumpulan
hadits-hadits yang berurutanberdasarkan nama-nama shahabat atau guru-guru
penyusun, atau negeri,sesuai dengan huruf hijaiyah.
Buku-bukuyang
terkenal adalah:
-Al-Mu'jam Al-Kabir, karya Abul Qasim
Sulaiman bin AhmadAt-Thabrani (wafat 360H), berisi musand-musnad para shahbat
yangdisusun berdasarkan huruf mu'jam (kamus), kecuali musnad Abu Hurairahkarena
dsendirikan dalam satu buku. Ada yang mengatakan: Berisi60.000 hadits. Aibnu
Dihyah berkat bahwa dia adalah mu'jam terbesardi dunia. Jika mereka menyebut
“Al-Mu'jam”, maka kitab inilahyang dimaksud. Tapi jika kitab lain yang dimaksud
maka ad penjelasandengan kata lain.
-Al-Mu'jam Al-Awsath, karya Abul Qasim
Sulaiman At-Thabraniyang disusun, berdasarkan nama-nama gurunya yang jumlahnya
sekitar2.000 orang. Ada yang mengatakan di dalamnya terdapat 30.00hadits.
-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya
At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap satu hadits
diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.
-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya
At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap satu hits
diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.
3.
MetodePengumpulan
hadits berdasarkan pembahsan Agama seperti kitab-kitabAl-Jawami'
Al-jawami'adalah jamak dari jaami'. Sedang jawami'
dalam karyahadits adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh
pengarangnyaterhadap semua permasalahan agama. Maka dalam kitab semodel ini,
Andaakan menemukan bab tentang iman (akidah), thaharah, ibadah,
muamalah,pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa,fitnah
dan lain sebagainya. Kitab-kitabyang terkenal:
-Al-Jami' Ash-Shahih, karya Imam Abu
Abdillah Muhammad binIsma'il Al-Bukhari (wafat 256H), orang yang pertama
menyusun danmembukukan hadits shahih, akan tetapi belum mencakup semuanya.
Kitabini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Ba'duAl-Wahyu,
dan Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan denganKitabul Ilmi dan lainnya
hingga berakhir dengan Kitabut Tauhid.Julah semuanya ada 97 kitab. Pada
setiap kitab terbagi menjadibeberapa bab, dan pda setiap bab terdapat sejumlah
hadits.
KitabShahih Bukhari ini mendapat perhatian yang
cukup besar dari paraulama, diantaranya dengan membuat syarahnya, dansyarha
yang palingbaik adalah kitab Fathul Bari bi Syahri Shahihi Al-Bukhari,karya
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852H) dan UmadtulQari, karya
Badrudin Al-Aini (wafat 855H), dan Isrsyadus SariIla Shahihi A-Bukhari,
karya Al-Qasthalani (wafat 922H)
-Al-Jami' Ash Shahih, karya Imam Abul Husain
Muslim bin HajjajAl-Qusyairi An-Naisaburi (wafat 261H), berisi kumpulan riwayat
haditsyang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh ImaMuslim, dimulai
dengan Kitab Iman, kmudian Kitab Thaharah, KitabHaid, Kitab Shlalat dan dakhiri
dengan Kitab Tafsir. Jumlah semuanyaada 54 kitab. Setiap kitab meliputi
beberapa bab, dan pada setip babterdiri dari sejumlah hadits.
Menurut para jumhur ulama hadits, Shahih Muslim
menempati peringkat keduasetelah Shahih Bukhari. Sedangkan menurut sebagian
ulama wilayahMaghrib bahwa Shahih Muslim lebih tinggi dari Shahih Bukhari.
ShahihMuslim juga mendapat penerimaan dan
perhatian yang sangat besar olehpara ulama, diantaranya dengan cra membuat
syarah terhadap kitabtersebut. Di antaranya adalah : “Al-Minhaj fi Syarh
ShahihMuslim bin AL-Hajjaj” karya Abu Zakaria Muhyiddin An-Nawawi(676H),
kitab “Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim”karya Al Qadhi 'Iyadh (wafat
544H), dan kitab “Ad-Dibaj'Ala Shahih Muslm bn Al-Hajjaj”karya Imam
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakr As-Syuyuthi (wafat911H).
-Al-Jami' Ash Shahih karyaImam Abu Isa
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (wafat 279H), merupakankumpulan hadits shahih,
hasan, dan dha'if. Namun sebagian besardijelaskan derajat hadits tersebut,
dengan urutan bab-bab berikut:bab Thaharah, bab Shalat, bab Witir, bab Shalat
Jum'at, bab Haji, babjenazah, bab nikah, bab persususan, bab Thalaq dan Li'an,
babJual-beli, hingga diakhiri dengan bab Al-Manaqib. Kitab ini
biasanyadisamakan dengan sebutan “Sunan At-Tirmidzi”.
Selain itu juga telah ditulis kitab-kitab
mustadrak atas kitab-kitab jami'.Yang paling masyhur adalah Al-Mustadrak
'Ala Ash Shahihainkarya Abu Abdillah Al-Hakim (wafat 405H)
4. Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan
Fiqih
Karya ini tidak mencakup semua pembahasan
agama, tapi sebagianbesarnya saja, khususnya masalah fiqih. Metode yang dipakai
dalampenyusunan kitab ini adalah dengan menyebutkan bab-bab Fiqih
secaraberurutan, dimulai dengan kitab Thaharah, kemudian kitab Shalat,Ibadah
Muamalat, dan seluruh bab yang berkenan dengan hukum danfiqih. Dan kadang pula
menuebutkan judul yang tidak berkaitan denganmasalah fiqih seperti: Kitab Iman
atau Adab.
Karya yang terkenal dengan metode ini:
-As-Sunan, yaitukitab-kitab yang disusun
berdasarkan bab-bab tentang fiqih dan hanyamemuat hadits yang marfu'saja
agar dijadikan sebagai sumber bagi para fuqaha' dalammengambil
kesimpulan hukum.
1.As-Sunnan berbeda dengan Al-Jami'.Dalam
As-Sunan tidak terdapat pembahsan tentang aqidah, sirah,manaqib, dan lain
sebagainya, tapi hanya terbatas pada masalh fiqihdanhadits-hadits hukum saja.
Al-Kittani mengatakan, “Diantaranyakitab-kitba yang dikenal dengan As-Sunanmenurut
istilah mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkanurutan bab-bab
tentang fiqih mulai dari bab Iman, Thaharah, Zakat danseterusnya. Tidak ada
didalmnya sedikit pun hadits yang mauquf,sebab mauquf menurutmereka
tidak dinamakan sunnah,tapi hadits
Kitab-kitab Sunan yang terkenal adalah:
-Sunan Abi Dawud, karyaSulaiman bin
Asy'ats As-Sijistani (wafat 275H).
-Sunan An-Nasa'i , yangdinamakan dengan
“Al-Mujtaba, karya Abdurrahman Ahmad bin Syu'aibAn-Nasa'i (wafat 303H)
-Sunan Ibnu Majah karyaMuhammad bin
Yazid bin Majah Al-Qazwini (wafat 275H)
-Sunan Asy-Syafi'ikarya Imam Muhammad
bin Idris As-Syafi'i (wafat 204H)
-Sunan Ad-Darimi karyaAbdullah bin
Abdurrahman Ad-Darimi (wafat 255H)
-Sunan Ad-Daraquthnikarya Ali bin Umar
Ad-Daraquthni (wafat 385H)
-Sunan Al-Baihaqi karyaAbu Bakar Ahmad
bin Husein Al-Baihaq (wafat 458H).
2.Al-Mushannafat, jamakmushannaf.
Menurutistilah ahli hadits adalah sebuah kitab yang disusun berdasarkanurutan
bab-bab tentang fiqih yang meliputi hadits marfu',mauquf, dan maqthu',atau
di dalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan shahabat,fatwa-fatwa tabi'in
dan terkadang fatwa tabi'ut tabi'in.
5.
Metode Kitab-kitab yang Penyusunannya Menyatakan Komitmen
HanyaMenuliskan Hadits-hadits yang Shahih
Selain kitab-kitab Shahihain, Al-Muwaththa'
karya Imam Malik danAl-Mustadrak karya Al-Hakim ada beberapa kitab yang disusun
dengankriteria shahih oleh penulisnya.
Kitab-kitabnya antara lain:
1.
Shahih
ibnu Khuzaimah,karya Abi Abdillah Muhammadn bin Ishaq bin
Khuzaimah bin Al-MughirahAs-Sulaimi An-Naisaburi, guru Ibnu Hibbah (wafat 311H).
2.
Shahih
ibnu Hibban,karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (wafat
354H). As-Sakhawi berkata,“Ada yang mengatakan bahwa buku yang paling shahih
setelah ShahihBukhari dan Muslim dalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
6. MetodeTematik
Sebagianahli hadits menyusun karya-karya
tematik yang terbatas padahadits-hadits tertentu berkaitan dengan tema
tertentu, di antaranya:
1.At-Targhib wa At-Tahrib yaitu
kitab-kitab hadits yang berisikumpulan hadits tentang targhib (motivasi)
terhadap perintahagama, atau tarhib (ancaman)terhadap larangannya,
seperti targhib untukbirrul walidain(anjuranuntuk ta'at kepada
orang tua), dan tarhib untuktidak durhaka kepada keduanya Karya-karya
tentang hal ini antara lain:
-At-Targhib wa At-Tahrib,karya
Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (wafat656H).
-At-Targhib wa At-Tarhib,karya Abi Hafsh
Umar bin Ahmad, dikenal dengan nama Ibnu Syahin(wafat 358H).
2. Buku tentan kezuhudan, keutamaan amal, adab,
dan akhlaq, antaralain:
-Kitab Az-Zuhd karyaImam Ahmad bin
Hambal (wafat 241H).
-Kitab Az-Zuhd karyaAbdullah bin
AL-Mubarak (wafat 181H).
-Kitab Akhlaq An-Nabi karyaAbi Syaikh
Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Ashbahani (wafat 369H).
-Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid
Al-Mursalinkarya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (wafat 676 H).
7. Metode Kumpulan Hadits Hukum Fiqih (Kutubul
Ahkam)
Yaitu buku-buku yang memuat tentang
hadits-hadits hukum fiqih saja,di antaranya yang terkenal adalah:
-Al-Ahkam karya AbdulGhani bin Abdul
Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)
-Umdatul Ahkam 'an Sayyidil Anam,karya
Al-Maqdisi.
-A-Imam fi Haditsil Ahkam,karya Muhammad
bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Daqiqil 'Ied (wafat702 H)
-Al Imam bi Ahaditsil Ahkam,karya Ibnu
Daqiqil 'Ied, ringkasan dari Kitab Al-Imam
-Al-Muntaqa fi Ahkam, karya
AbdusSalam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)
-Bulughul Maran min Adillatil Ahkamkarya
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al 'Asqalani (wafat 852 H).
8. Metode Merangkaikan Al-Majami'
Al-Majami' jamak dari majma'yaitu setiap kitab yng
berisi kumpulan beberapa mushannafdan disusun berdasarkan urutanmushannaf
yang telahdikumpulkan tersebut.
Di antara majami' yang terkenal adalah:
- Jami' Al-Ushul minAhadits Ar-Rasul,
karya AbuAs-Sa'adat dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Atsir (wafat 606 H),
didalamnya terdapat kumpulan Kutubus Sitah (kitab Hadits yang enamyaitu Shahih
Bukhari, Shahih Mulmi, Sunan Abu Dawud, SunanAt-Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, dan
yang keenam adalah Al Muwaththa'Imam Malik sebagai ganti dari Sunan Ibnu Majah,
karena di dalamnyabanyak terdapat hadits-hadits dha'if. Oleh karenanya,
sebagianhuffazh menghendakisekiranya Musnad Ad-Darimi menempatiposisi
tersebut).
- Majma'Az-Sawa'id wa Manba'u Al-Fawa'id,karya
Al-Hafizh Ali bin Abu Bakar Al-Haitsam (wafat 807 H), berisikumpulan
hadits-hadits dalam Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya'laAl-Mushili, Musnad Abu Bakar
Al-Bazzar, dan Mu'jam Ath-Thabrani yangtiga: Al-Mu'jam Al-Kabir, Al-Mu'jam
Al-Awsath,dan Al-Mu'jam Ash-Shaghir,yang tidak terdapat di kutubus
sittah.
-Jam'u Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa
Majma' Az-Zawa'id,karya Muhammadn bin Muhamadbin Sulaiman Al-Maghribi
(wafat 1094 H),yang merupakan kumpulan dari dua kitab. Yaitu kitab Ibnu
Al-Atsir dankitab Al-Haitsami dan ditabah dengan tambahan dari Munad
Ad-Darimidan Sunan Ibnu Majah. Kemudian muncul sebuah ensiklopedia baru
yangmemuat ebih dari 10.000 hadits dari 14 kitab yaitu Shahih Bukhari,Shaih
Muslim, Al-Muwaththa', Sunan yang empat: Abu Dawud, An-Nasa'i,At-Tirmidzi, dan
Ibnu Majah, Musnad Ad-Darimi, Musnad Ahmad, MusnadAbu Ya'la, Musnad Al-Bazzar
dan Mu'jam Ath-Thabarani yang tiga:Al-Kabir, Al-Awsath, dan Ash-Shaghir.
9.Metode Al-Ajza' (jamak dari juz)
Yaitu
setiap kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawihadits, atau yang
berkaitan dengan satu permasalahan secaraterperinci, seperti:- Juz'u Ma Rawahu AbuHanifah 'an Ashshahabah, karyaUstadz bu Ma'syar Abdul Karim bin Abdush Shamad At-Thabari.
- Juz'u Ra'fil Yadain fiAs-Shalat, karya Al-Bukhari
10.Metode Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yanghanya menyebutkan
sebagian hadits yang dapatmenunjukkan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian
mengumpulkanseluruh sanadnya baik sanad satu kisah ataupun sanad dari
beberapakitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnadpara
shahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalumenyebutkan
pangkal hadits yang dapat menunjukkan ujunngya, sepertihadits nabi: “Kullukum
ra'in...”, “Buniyal Islamu 'AlaKhamsin...”, dan “Al-Imanu Bidh'un wa Sab'una
Syu'batan...”,demikian seterusnya.
Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah:
- Athrafu Ash-Shahihainkarya Muhamad
Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (wafat 401 H).
- Al-Isyraf 'Ala Ma'rifatiAl-Athraf atau
AthrafAs-Sunan Al-Arba'ah karyaAl-Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan
dikenal sebagai Ibnu Asakir.
- Tuhfatul Asyraf biMa'rifatil Athraf
atau AthrafAl-Kutub As-Sittah karyaAl-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf bin
abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)
- Ithaful Muharah binAthrafil Asyarah,
karyaAl-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hja Al-Asqalani (wafat 852 H).Al-Asyarahatau
kitabyang sepuluh adalah: Al-Muwaththa',Musnad Asy-Syafi'ie, Musnad
Ahmad, Musnad Ad-Darimi, ShahihIbnu Khuzaimah, Muntaqa Ibnul Jarud, Shaih Ibnu
Hibban, MustadrakAl-Hakim, dan SunanAd-Daruquthni. Jumlahnya
menjadi11 karena Shahih Ibnu Khuzaimah hanyaberisi seperempatnya saja.
- Athraf Al-Masanid Al-Asyarah,karya Abul Abbas
Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (wafat 840 H).Al-Asyarah atau munad yang
sepuluh adalah: Musnad Abu DawudAt-Thayalisi, Musnad Abu Bakar Al-Humaidi,
Musnad Musaddad binMusarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Al-Adani, Musnad Ishaq
binRawaih, Musnad Abu Bakar bin AbiSyaibah, Musnad Ahmad bin Mani',Musnad 'Abd
bin Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi Usamah,dan Musnad Abi Ya'la
Al-Mushili.
- Dzakha'ir Al-Mawarits fiAd-Dalalah 'Ala
Mawadhi' Al-Hadits,ini merupakan kumpulan athraf kutubus sittahdan Muwaththa'
ImamMalik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143 H)
11.Metode Kumpulan Hadits-hadits yang mesyhur
diucapkan di lisan atautematik
Pada beberapa kurun waktu, para ulama banyak
memperhatikan penulisanhadits-hadits yang masyhur diucapkan di kalangan
masyarakat lalumerka menjelaskan derajat hadits tersebut dari segi dha'if
danmaudhu'nya atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah sedemikianmasyhur.
Di antara ulama juga ada yang meperhatikan penulisan haditspalsu secara khusus.
Buku-buku yang terkenal di antaranya adalah:
- Al-La'ali' Al-Mantsurahfi Al-Ahadits
Al-Musyataharah min Ma Allafahu At-Thab'u wa Laisa LahuAshlun Fi Asy-Syar'i,
karyaAl-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852 H)
- Al-Maqashid Al-Hasanahfi Bayani Katsirin
Minal Ahadits Al-Mustaharah 'alal Alsinah, karyaMuhammad bin Abdurrahman
As-Skahawi (wafat 902 H)
- Ad-Durar Al-Muntatsirahfi Al-Ahadits
Al-Musytaharah,karya Jalaluddin As-Syuyuthi (wafat 911 H).
- Tamyizu At-Thayyib minAl-Khabits fi Ma
Yadhurru 'ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits,karya Abdurrahman bin Ali
As-Syaibani (wafat 944 H)
- Kasyful Khafa' waMuzilul Ilbas 'Amma
Isytahara minal Ahadaits 'ala Alsinati An-Nas,karya Ismail bin Muhamad
Al-Ajluni (wafat 1162 H)
- Asna Al-Mathalib fiAhadits Mukhtalifil
Maratib,karya Muhamad bin Darwisy yang terkenal dengan nama
Al-HuutAl-Bairuni (wafat 1276 H).
- Al-Maudhu'at,karya Ibnul Jauzy (wafat
597 H)
- Al-Manar Al-Munif fiAsh-Shahih wa
Adh-Dha'if karyaIbnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H), ditahqiq Syaikh
Abdul FattahAbu Ghuddah.
- Al-La'ali' Al-Mashnu'ahfi Al-Ahadits
Al-Maudhu'ah karyaJalaluddin Asy-Syuyuthi (wafat 911 H).
- Al-Mashnu'fi Ma'rifati Al-Hadits
Al-Maudhu',karya Allamah Nuruddin Ali bin Muhammad yang dikenal dengan
namaAl-Mulla Ali Al-Qari AlHarawi (wafat 1014 H), tahqiq: Syaikh AbdulFattah
Abu Ghuddah.
- Al-Asrar Al-Marfu'ah fiAl-Akhbar
Al-Maudhu'ah, yangdikenal dengan, Al-Maudhu'at Al-Kubra,karya
Al-Mulla Ali Al-Qari', tahqiq: Muhammad As-Shabbagh.
- Al-Fawaid Al-Majmu'ah fiAl-Ahadits
Al-Maudhu'ah, karyaAsy Syaukani (wafat 125 H)
- Silsilah Al-HaditsAdh-Dha'ifah, karya
SyaikhMuhammad Nashiruddin Al Albani.
12.Metode Az-Zawa'id
Zawa'id adalah karya berisi kumpulan
hadits-hadits tambahan terhadaphadits yang ada pada sebagian kitab-kitab yang
lain.
Buku-buku yang terkenal dalam bidan ini antara
lain:
- Mishbah Az-Zujajah fiZawa'id Ibnu Majah,
karya AbuAbbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (wafat 84 H), bukan
Al-BushairiMuhammad bin Sa'id (wafat 696 H) sang penyair yang
menyusun“Al-Burdah”. Kitab in imencakup tambahan Sunan Ibn Majah ataslima kitab
pokok aitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, SunanAt-Tirmidzi, Abu Dawud, dan
An-Nasa'i.
- Ithafu As-Sa'adahAlMaharah Al-Khairah bi
Zwa'idi Al-Masanid AL-'Asyarah, karyaAl Bushairi juga yang merupakan
tambahan terhadap kutubussittah: (Musnad AbuDawud Ath-Thayalisi,
Musnad Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad,Musnad Muhammad bin Yahya
Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaih, MusnadAbu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad Ahmad
bin Mani', Musnad 'Abd binHumaid, Musnad Harits bin Muhammad bin Abu Usamah,
dan Musnad AbuYa'a Al-Mushili)
- Al-Mathalib Al-'Aliyah bin Zwa'idiAl-Masanid
Ats-Tsamaniyah, karya Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibn HajarAl-Asqalani (wafat 852
H), yang merupakan tambahan dari sepuluhmusnad di atas kecuali Musnad Abu
Ya'la Al-Mushili,Musnad Ishaq bin Rahawaihatas kutubus sittah danMusnad
Ahmad.
- Majma' Az-Zawa'id waManba'ul Fawa'id,
karyaAl-Haitsami, yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam Al-Majami'.Kitab
ini berisi beberapa buku hadits sehingga menyerupai majami',dan karena bersii kumpulan
hadits-hadits ambahan pada sebagian kitab,maka layak pula disebut zawa'id.
BAB IV
HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN AGAMA
A.
KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM
1.
Dalil / Dasar Kewajiban
Mengikuti Sunnah
Dalil Al-quran, firman
Allah:
Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada
kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7)
2.
Dalil Hadis Nabi SAW :
Artinya”aku tinggalkan
dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu
Hurairah)
3.
Ijma’
Dalil dari Ijma
(kesepakatan Ulama) Umat Islam telah mengambil keputusa bersama untuk
mengamalkan sunah. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi
panggilan Allah SWT, Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima
sunah seperti mereka menerima al-Qur‟an, karena berdasarkan kesaksian
dari Allah, sunah merupakan salah satu sumber syariat.
B. FUNGSI HADITS SEBAGAI AL-QUR’AN
Bayan at-tafsir
Bayan at-taqrir
Bayan an-nasakh
BAB V
STRUKTUR HADITS
A. KOMPONEN-KOMPONEN HADITS
Secarai struktur, hadits terdiri dari tiga
struktur, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan
(redaksi hadits), dan mukharij (rawi). Berikut ini contoh hadits yang
memuat ketiga unsur tersebut.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ:
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار(رواه البخاري)ِ
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW., bahwa
beliau bersabda, ‘Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang,
orang itu akan merasakan manisanya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena
Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana
kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka’.” (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut kita lihat bahwa hadits
tersebut terdiri dari tiga komponen, yang pertama sanad,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW.”
Kedua adalah matan,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ
فِي النَّار
Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri
seseorang, orang itu akan merasakan manisanya iman. Hendaknya Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai
orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada
kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka.
Di samping dua komponen utama tersebut, dalam
hadits tersebut juga ada komponen tambahan yang menyebutkan sumber dan asal
hadits itu dinukil, yang disebut dengan mukharij
(rawi)
(رواه البخاري)
Riwayat Bukhari
Maksudnya hadits
tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehungga kita bisa melacak hadits tersebut
dalam Shahih Bukhari.
B.
SANAD HADITS
1. Pengertian Sanad Hadits
Sanad dari segi bahasa berarti bagian bumi yang menon-jol, sesuatu yang berada dui hadapan Anda dan
uang jauh dari kaki bukit ketika Anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalah Segala sesuatu yang Anda sandarkan
kepada yang lain disebut disebut Dikatakan maknanya’Seseorang mendaki gunung’.
Dikatakan pulamaknanya ‘Seseorang menjadi tumpuan’.
الطر يقة المو صلة إلى المتن
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits
Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur ini adakalanya disebut sanad, adakalanya karena periwayat
ber-sandar kepadanya dalam menisbatkan matan
kepada sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang
menyebutkan sanad’ dalam mengetahui shahih atau dhaif suatu hadits.
سلسلة الرجا ل المو صلة للمتن
Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits
Silsilah orang-orang
maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi
hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW., yang
perkataan, perbuatan, taqrir, dan
l;ainnya merupakan materi atau matan hadits.
Dengan pengertian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku kepada serangkaian
orang, bukan dilihat dari pribadi secara perseorangan. Adapun sebutan untuk
pribadi, yang menyam-paikan hadits dilihat dari sudut orang perorangan, disebut
rawi.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara ter-perinci, sebagai
berikut:
Jalan matan hadits, yaitu silsilah para rawi
yang menukilkan matan hadits dari sumber yangpertama (Rasulullah SAW)
Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur,
mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga
Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat. Contohnya adalah hadits berikut:
2. Isnad,
Musnad, dan Musnid
Selain istilah sanad,
terdapat uga istilah lainnya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad, seperti, al-isnad, al-musnad, dan al-musnid.
Istilah al-isnad, berarti
‘Menyandarkan, menegaskan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat’ Yang
dimaksud di sini adalah:
رفع الحد يث الى قاإله
Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya
Atau,
عز والحد يث الى قاإله
Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya
Menurut Ath-Thibi, seperti yang dikutip oleh Al-Qasimi,
kata isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama
atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya, ulama
muhaditsin memendang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama,
yang keduanya dapat dipakai secara bergantian.
Istilah
Al-Musanid mempunyai beberapa arti
yang berbeda dengan istilah al-isnad, yaitu
pertama, berarti hadits yang
diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan
kepada seseorang yang membawakannya, seperti Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik bin
Anas, dan Amrah binti Abd. Ar-Rahman; kedua,
berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem
penyusunan berdsarkan nama-nama para sahabat rawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad; ketiga, berarti nama bagi
hadits yang memenuhi kriteria marfu’, (di-sandarkan
kepada Nabi SAW) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai akhirnya)
3.
Jenis-jenis Sanad Hadits
a. Sanad
‘Aliy
Sanad ‘aliy adalah
sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad
lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertokal dengan sanad
yang sama jika rawinya lebih banyak. Sanad ‘aliy
ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Sanad ‘Aliy yang bersifat mutlak adalah sanad
Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah bergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu kea rah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya
itu karena dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang wanita yang akan
dikawininya, hijrahnya itu kearah apa yang ia tuju.
Terkait dengan matan
atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah
berujung pada Nabi Muham-mad SAW atau bukan.
2. Matan hadits itu sendiri dalam
hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al-Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
D. RAWI HADITS
Kata rawi atau ar-rawi berarti
orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil Al-Hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi
pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas,
jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu: pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima
hadits-hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan
demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan
menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan hanya
menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini,
dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah
rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi
disebut sanad hadits sebab ada rawi
yang membukukan hadits. Kedua, dalam
penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang
disebut sanad pertama adalah orang
yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasulullah SAW. dengan demikian,
penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
Untuk lebih memperjelas uraian
tentang sanad, rawi, dan matan di atas, lihat penjelasan lebih
lanjut pada hadits di bawah ini,
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan
(hadits) kepada kami, katanya: “Abu MUawiyyah telah menceritakan (hadits)
kepada kami, yang diterimanya dari Al-A’masy, dari Umarah bin Umar, dari Abd
Ar-Rahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: ‘Rasulullah SAW telah
bersabda kepada kami: “Wahai sekalian pemuda! Barang siapa yang sudah mampu
untuk melakukan pernikahan, maka manikahlah. Karena, dengan menikah itu (lebih
dapat) menutup mata dan lebih dapat menjaga kehormatan. Akan tetapi, barang
siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena, dengan
berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nama Abu Bakr bin Abi
Syuaibah sampai dengan Abdullah bin Mas’ud merupakan silsilah tau rangkaian
satu susunan orang-orang yang menyampaikan hadits. Mereka semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga disebut
sebagai jalan matan.
Mulai kata “yama’ syara asy-syabab” sampai kata ”fainnahu lahu wijaaun”, adalah matan
atau materi atau lafadz hadits tersebut, yang mengandung makna-makna
tertentu. Dalam salah satu definisi, lafadz-lafadz tersebut disebut sebagai
ujung atau tujuan sanad.
Adapun nama Bukhari dan Muslim, yang ditulis pada akhir
matan di-sebut rawi (orang yang meriwayatkan hadits). Karena keduannya
(masing-masing) membukukan hadits, mereka disebut mudawwin (yang membukukan hadits).
E. KEDUDUKAN SANAD DAN
MATAN HADITS
Kedudukan sanad dalam
hadits sangat penting karena hadits yang diper-oleh/diriwayatkan akan mengikuti
siapa yang meriwayatkan. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat
diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau
tidak shahih, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk
menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa hadits atau atsar yang
menerangkan keutamaan sanad, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Ibnu Sirin,
Ilmu ini (hadits ini) adalah agama karena itu telitilah
orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka.
Abdullah Ibnu Mubarak berkata:
Menerangkan sanad hadits termasuk tugas agama. Andai tidak
diperlukan sanad, tentu siap saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.
Antara kami dengan mereka adalah sanad. Perumpamaan orang yang mencari
hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki
loteng tanpa tangga.
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu
dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yang
luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka, terperiharalah sunnah Rasul dari
tangan–tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits
berusaha pergi dan melayat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang
terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad ‘ali
Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu
keistimewaandari ketentuan-ketentuan umat Islam. Dengan adanya sanad inilah,
para imam ahli hadits dapat membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif
dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya
Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya kaerena pada zaman
sebelumnya tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan
orang-orang saleh diantara mereka tidak dapat dibedaka. Adapun Islam yang
sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan
Rasulullah SAW dan perkataan sahabat.
BAB VI
ILMU HADITS
A.Pengertian Ilmu Hadits
Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan para ulama adalah “segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat”. Jadi apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Penulisan
ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H.
Jadi secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini
menjadi dua bagian yaitu :Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1.
Ilmu
Hadits Riwayah
Kata
riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu
Hadits yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat
mendefenisikan tentang ilmu Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di
antara para ulama yaitu defenisi ibnu Al-Akhfani beliau berpoendapatan bahwa
ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan
danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian
lafadz-lafadznya.
Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang disadarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu juga yang menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabiin yang meliputi :
a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.
Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.
Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah abu bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan sejarah Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi SAW atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.
2.Ilmu Hadits Dirayah
Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain ilmu ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.
Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun memberikan defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah ibn Al-Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau ditolaknya
.
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang sanad adalah :
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang sanad adalah :
a.Persambungan sanad
b.Keterpercayaan sanad
c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad
d.Keselamatan dari cacat
e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.
Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.
b.Terdapat catat pada makna Hadits.
c.Dari kata-kata asing.
Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :
1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.
2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, periwayatan Hadits.
3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.
4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan hukum syara.
Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits Dirayah secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi.
B.Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali Al-Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.
Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :
1.Ilmu Rijal Al-Hadits
Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu Rijal Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun dari generasi-generasi sesudahnya.
2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul
Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil artinya menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi. Sedangkan para ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan sifatsifat yang membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.
3.Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.
4.Ilmu Ilal Al-Hadits
Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al-hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits, namun dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli hadits mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang menqati, memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.
5.Ilmu Gharib al- Hadits
Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum.
6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk
Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin. Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat [membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan ilmu Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan Nasikh.
7.Ilmu Talfiq al-Hadits
Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan.
8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif
Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha menerangkan dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan bentuknya.
9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits
Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut As-suyuti pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.
10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits
Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli Hadits.
C.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan periode Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits yang disertai dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang disampaikan Nabi kepada mereka.
Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits. Apabila seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera menemu Rasulullah atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya setelah itu barulah ia menerima dan mengamalkan Hadits itu.
Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan, misalnya khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat dapat menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam menyusun suatu hadits yaitu :
1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja.
2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya.
3.Kritik terhadap matan hadits.
Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn Syihab Az-Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.
BAB VII
PEMBAGIAN HADITS
A. PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUANTITAS RAWI
1. Hadits
Mutawatir
a.
Pengertian Hadits mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan
menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
b. Pembagian
Hadits Mutawatir
Para ulama
membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
·
Hadits Mutawatir Lafzi
Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik
hukum maupun ma’nanya.
·
Hadits Mutawatir Ma’nawy
Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan
maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.
·
Hadits Mutawatir Amaly
Sesuatu yang
mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di
antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu
2. Hadis
Ahad
a.
Pengertian hadis ahad
Menurut
Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul
padanya syarat-syarat mutawatir.
b. Pembagian
Hadits Ahad
Pembagian
hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga tingkatan
yaitu :
·
Hadits Masyhur
Hadits yang di riwayatkan oleh tiga
orang atau lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.
·
Hadits ‘Azis
Hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang, walupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah
saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada meriwayatkannya.
·
Hadits gharib
Hadits yang dalam sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi.
4.
Hadits Gharib
Menurut bahasa, gharîb bermakna
yang asing, bersendirian, atau yang jauh dari kerabatnya.
Menurut istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan bersendirian
oleh satu orang, walaupun hanya pada satu tingkatan sanad.
Hadits gharib kadang diistilahkan juga dengan “al-Fard”,
walaupun sebagian ulama membedakan antara keduanya.
B. KLASIFIKASI
HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI
1. Hadits
Sahih
Hadits Sahih
adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.
Hadits
shahih terbagi kepada dua bagian:
·
Shahih li-dzatihi
Hadits yang sanadnya
bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari
orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak
mengandung cacat yang para
·
Shahih li-ghairih
Hadits yang keadaan rawi-rawinya
kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga
karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa
atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
2. Hadis
Hasan
Hadits Hasan
adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang kurang sedikit
kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi SAW. dan tidak
mempunyai ‘Illat serta syadz.
Menutut Ibnu
Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:
·
Hasan li-dzatihi
Berita
Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi
hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits
shahih.
·
Hasan
li-ghairih
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari
seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan
lain-lainnya.
C.
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI
1. Hadits Marfu’
Hadits
Marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu
terputus.
2. Hadits Mauquf
Hadits
Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu
terputus.
Contoh:
3. Hadits
Maqtu’
Hadits
Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang
yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.
BAB VIII
ILMU AL-JARH WA
AT-TA’DIL
A.
Pengertian al jarh wa at ta’dil
Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang
terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa
merupakan bentuk mashdar, dari kata جرج – يجرح , yang berarti, seseorang membuat luka pada
tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi
yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya,
yanga mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak
riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang
membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak diterima.
Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat,
maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, maka periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain
untuk menerima hadits dipenuhi.
Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib
(cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.
Dr. ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :
الْعِلْمُ الَّذِيْ
يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ
رَدِّهَا
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima
atau ditolak riwayat mereka”
B.
MANFAAT ILMU
AL-JARH WA AT-TA’DIL
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat
untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dam apabila seorang rawi
dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist tersebut terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu
al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak
menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti
secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan
lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya, mereka yang menyandarkan
hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat
yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa
at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun
hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
C.
METODE UNTUK
MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN MASALAH-MASALAHNYA
Dalam uraian yang baru lalu telah
dikemukakan bahwa : menta’dilkan ialah memuji rawi dengan sifat –sifat yang
membawa ke-‘adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan
riwayat. Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua
ketetapan, yaitu :
1.
Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang
yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di
kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin
Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu
sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
2. Dengan
pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal
sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
ini dapat dilakukan oleh :
-
Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang
yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan
riwayat (hadist). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula
untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat para fuqaha’ yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyah seorang rawi.
-
Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun
perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui
sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat
ditempuh melalui dua jalan :
-
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang
rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai
jalan untuk menetapkan kecacatannya.
-
Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui
sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para
Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-sekurangnya harus
ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya seorang rawi,
diantaranya apabila penilaian itu secara mubham dan ada
kalanya mufasaT. Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam
beberapa pendapat, yaitu:
-
Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu
banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja.
Adapun mentarjihkan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya,
karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang
itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang
mentarjihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.
-
Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu.
Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan,
sedangkan mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.
-
Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
-
Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan
mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara
sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman
tentang penilaian terhadap rawi.
Masalah berikutnya adalah
perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup
untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :
-
Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian
pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.
-
Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab,
bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula
disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawi. Berlainan dalam soal
syahadah.
-
Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu
diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu,
maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik,
As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan
lain-lainnya.
D.
SYARAT-SYARAT
BAGI ORANG YANG MENTA’DILKAN DAN MENTARJIHKAN
Kita tidak boleh menerima begitu
saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainny, melainkan harus jelas
dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat
padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung
suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi orang-orang yang menta’dilkan
dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut ini, yaitu :
-
Berilmu pengetahuan
-
Takwa
-
Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa
kecil dan makruhat-makruhat).
-
Jujur
-
Menjauhi fanatik golongan
-
Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.
E.
PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH WA AT-TA’DIL
Terkadang, pertanyaan-pertanyaan
ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling
bertentangan. Sebagian mentarjihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila
keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan
sebenarnya. Sebagian ulama mentarjihkan dan sebagian ulama lainnya menta’dilkan
dalam 4 pendapat, yaitu :
1.
Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak
daripada jarhnya. Sebab bagi jarhh tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak
diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa
yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarihnya memberitakan urusan
batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh
Jumhuru ‘I-ulama.
2.
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak karena
banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan.
Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil.
Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah
pernyataan yang mentajrih.
3.
Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan,
kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan
dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.
4.
Masih tetap dalam keta’arudlannya selama belum ditemukan yang merajihkannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah
mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan
jarihnya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan keputusan ijma’.
F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil
Lafadz-lafadza yang
digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki
tingakatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam Nawawi,
lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan. Menurut Al-Hafidz Al-Dzahaby dan
Al-‘Iraqy tersusun menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan, yaitu:[1][1]
1.
Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi
a.
Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang
mengandung arti sejenis, misalnya:
Ø Orang yang paling tsiqah (أَوْثَقُ النَّاسْ)
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (أَثْبَتُ
النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً)
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (إِلَيْهِ
الْمُنْتَهَى فِى الثّبت)
Ø Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (ثَقَةُ فَوَقَ الثَّقَةِ)
b.
Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat
yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu
selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna, misalnya:
Ø Orang yang teguh (lagi) teguh (ثُبُتٌ ثُبُتْ)
Ø Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَةْ)
Ø Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (حُجَّةٌ حُجَّةْ)
Ø Orang yang teguh (lagi) tsiqah (ثُبُتٌ ثِقَّةْ)
Ø Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حَافِظٌ حُجَّةْ)
Ø Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (ضَابِطٌ
مُتْقِن).
c.
Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan,
misalnya:
Ø Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (ثُبُتٌ)
Ø Orang yang meyakinkan (ilmunya), (مُتْقِنٌ)
Ø Orang yang tsiqah (ثِقَةٌ)
Ø Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حَافِظٌ)
Ø Orang yang hujjah (حُجَّةٌ).
d.
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
Ø Orang yang sangat jujur (صَدُوْقٌ)
Ø Orang yang dapat memegang amanat (مَأْمُوْنٌ)
Ø Orang yang tidak cacat (لَابَأْسَ بِهْ).
e.
Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan,
misalnya:
Ø Orang yang berstatus jujur (مَحِلُّهُ الصِّدْقُ)
Ø Orang yang baik hadisnya (جَيِّدُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang bagus hadisnya (حَسَنُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah
(مُقَارِبُ الْحَدِيْث).
f.
Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan
diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan
(pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan,
misalnya:
Ø Orang yang jujur, insya Allah (صُدُوْقٌ إِنْشَاءَ
الله)
Ø Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (فُلَانٌ
أَرْجُوْ بِأَنَّ لَابَأْسَ بِه)
Ø Orang yang sedikit kesalehannya (فُلَانٌ صويلح)
Ø Orang yang di harapkan diterima hadisnya (فُلَانٌ
مَقْبُوْل حَدِيْثُهُ)
Para ahli ilmu
menggunakan haits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits
para rawi yang dita’dil menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.[2][2]
a.
Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain
(seperti sighat muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya
dengan itu, misalnya:
Ø Orang yang paling dusta (اَوْضَعَ النَّاْس)
Ø Orang yang paling bohong (اَكْذَبُ النَّاسْ)
Ø Orang yang paling top kebohongannya (اِلَيْهِ
الْمُنْتَقَى فِى الْوَضْعِ)
b.
Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,
misalnya:
Ø Orang yang pembohong (كَذَّابُ)
Ø Orang yang pendusta (وَضَّاعٌ)
Ø Orang yang penipu (دَجَّالْ)
c.
Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
Ø Orang yang dituduh
bohong (فُلَانٌ مِتَّهَمٌ بِاْلكَذْبِ)
Ø Orang yang dituduh
dusta (اَوْمُتَّهِمٌ بِالْوَضْعِ)
Ø Orang yang perlu
diteliti (فُلَانُ فِيْهِ النَّظْرُ)
Ø Orang yang gugur (فُلاَنٌ سَاقِطٌ)
Ø Orang yang hadisnya
telah hilang (فُلَانٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang ditinggalkan
hadisnya (فُلَانٌ مَتْرُوْكُ الِحَدِيْث)
d.
Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
Ø Orang yang dilempar
hadisnya (مُطْرَحُ الْحَدِيْثُ)
Ø Orang yang lemah (فُلَانٌ ضَعِيْفٌ)
Ø Orang yang ditolak
hadisnya (فُلَانٌ مَرْدُوْدٌ الْحَدِيْث)
e.
Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya,
misalnya:
Ø Orang yang tidak dapat
dibuat hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَايُحْتَجُّ
بِهِ)
Ø Orang yang tidak
dikenai identitasnya (فُلَانٌ مَجْهُوْلٌ)
Ø Orang yang mungkar
hadisnya (فُلَاٌن مًنْكَرٌ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang kacau
hadisnya (فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْث)
Ø Orang yang banyak
menduga-duga (فُلَانٌ وَاهٍ)
f.
Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat
itu berdekatan dengan adil, misalnya:
Ø Orang yang didla'ifkan
hadisnya (ضُعِّفَ حَدِيْثَهُ)
Ø Orang yang
diperbincangkan (فُلَانٌ مُقَالٌ فِيْهِ)
Ø Orang yang disingkiri (فُلَانٌ فِيْهِ خَلْفٌ)
Ø Orang yang lunak
(فُلَانٌ لَيَّن)
Ø Orang yang tidak dapat
digunakan hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَيِسَ
بِالْحُجَّةْ)
Ø Orang yang tidak kuat (فُلَانٌ لَيْسَ بِالْقَوِى)
Orang yang ditarjih
menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan
kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat
membandingkan).
BAB IX
HADIS MAUDHU’
hadits maudhu adalah hadits yang
diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam
secara sengaja.
Faktor munculnya hadis maudhu’:
·
Pertentangan
politik dalam soal pemilihan khalifah
·
Adanyakesengajaan
dari pihak lain untuk merusak ajaran islam
·
Mempertahankan
mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam
·
Membangkitkan
gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah
·
Menjilat
para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah
Ciri-ciri hadis maudhu’ :
Ø Ciri yang terdapat pada sanad
·
Rawinya
terkenal berdusta
·
Pengakuan
dari si pembuat sendiri
·
Kenyataan
sejarah
·
Keadaan rawi
dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’
Ø Ciri yang terdapat pada matan
·
Keburukan
susunan lafadznya
·
Kerusakan
maknanya
BAB X
TAKHRIJUL
HADIS
Takhrij adalah penunjukan terhadap
tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya
sesuai keperluan.
Tujuan pokok men-tahrij hadis
adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk
mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.
.
cara mentakhrij hadis:
·
Pertama kita
mencari subuah hadis
·
Selanjutnya
kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama
·
Kata saama
kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )
·
Di situ akan
tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.
Misal: kha-iman-32 (berarti
kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab iman, hadis yang
ke 32)
·
Setelah kita
melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.
·
Setelah itu
kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir,
tahun,masa, guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi
pada kitab tahzibul-tahzib atau tahzibul kamal,dsb
·
Untuk
mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.
BAB XI
INGKAR AS-SUNNAH
A. Pengertian Ingkar sunnah
Terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.Menurut Daud Rasyid (2006:207) “ Inkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun seluruhnya“. Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara pendapat Nurcholis Majid (2008:27) “ Yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya “. Nurcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran). Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam. Dan menurut Ibid (2007:5) “Inkar as-sunnah tidak semata-mata penolakan total terhadap sunnah, penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk inkar as-sunnah “. Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.
B. Sejarah Ingkar As-Sunnah
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.
3. Ingkar Sunnah pada Periode Modern
Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang).
Sebagaimana kelompok ingkar
sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk
menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87
ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
.
B. Argumentasi Kelompok Ingkar As-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argument-argumen yang dijadikan landasan mereka. Tanpa argument-argumen itu, pemikiran mereka tidak berpengaruh apa-apa. Argument mereka antara lain :
1. Agama bersifat konkrit dan pasti Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada hal yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai hadits, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama islam itu bersumber dari hadits , ia tidak akan memiliki kepastian karena hadits itu bersifat dhanni (dugaan), dan tidak sampai pada peringkat pasti.
2. Al-Quran sudah lengkap Jika kita berpendapat bahwa al-quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara jelas mendustakan al-quran dan kedudukan al-quran yang membahas segala hal dengan tuntas. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali al-quran.
3. Al-Quran tidak memerlukan penjelas Al-quran tidak memelukan penjelasan, justru sebaliknya al-quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Mereka menganggap bahwa al-quran cukup memberikan penjelasan terhadap segala masalah.